Ketupat Sungai Baru punya ciri khas dibanding ketupat lainnya. Ia sudah menjadi ikonis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lebih besar dan awet.
Tangan Halimah begitu lincah melipat daun muda nipah atau janur. Dalam hitungan menit, lembaran janur itupun sudah menjadi ketupat atau dalam bahasa setempat disebut makurung. Sudah 20 tahun warga Kampung Banjar Baru, Kelurahan Sungai Baru, Kecamatan Banjarmasin Tengah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini melakoni pekerjaan sebagai pedagang ketupat dan lontong.
Halimah yang membuka kios dagang ketupat dan lontong di Jalan Sungai Baru mengaku dalam sehari bisa menjual lebih dari 1.000 lontong dan 500 ketupat. Itu pas hari biasa. Biasanya, pesanan akan meningkat dua hari menjelang Idulfitri atau hari raya Iduladha. Di hari biasa lontong dijual seharga Rp2.000 dan ketupat Rp3.000. Tapi biasanya di dua hari raya itu, lontong dijual seharga Rp4.000 dan Rp5.000 untuk ketupat.
Halimah tak sendiri. Mukransyah, pedagang lainnya, juga mengaku bahwa pesanan ketupat dan lontong makin banyak ketika Idulfitri atau Iduladha. Ketika Iduladha, ia mengaku mampu menjual sekitar 100 belek ketupat dan lontong yang menghabiskan 400 liter beras.
Tak hanya Halimah dan Mukransyah. Di kampung itu ada banyak perajin dan pedagang ketupat dan lontong seperti mereka. Ketupat dan lontong itu tak dijual di rumah melainkan dijajakan di kios-kios sepanjang jalan kampung itu. Tak hanya ketupat yang sudah diisi, mereka juga menjajakan ketupat kosongan.
Ada puluhan kios yang menjual penganan di kampung sentra ketupat itu. Tak hanya untuk makanan sehari-hari, melainkan bisa juga dijadikan buah tangan bagi para pendatang. Saking banyaknya yang berprofesi sebagai perajin dan pedagang ketupat dan lontong, kampung itu dijuluki Kampung Ketupat. Tulisan Kampung Ketupat terpampang jelas di gapura pintu masuk kampung.
Arbainah, pemilik agen ketupat ‘Zidan Qubra’, mengaku bahwa setiap hari sentra ketupat di kampung ketupat itu selalu didatangi pembeli. Entah pembeli rumah tangga atau pedagang. Pembeli berasal dari Banjarmasin sekitarnya. Tapi ada juga pembeli yang dari luar kota.
Bahrul Maji, salah satu pembeli, mengatakan bahwa setiap kali ingin membeli ketupat atau lontong untuk menjamu tamu jika Lebaran tiba dirinya memilih berburu di kampung tersebut. “Karena sudah terkenal enak dan tak mudah basi, selain itu jaraknya dengan rumah tidak terlalu jauh,” kata Bahrul, yang datang dari Kecamatan Banjarmasin Timur.
Menurut Arbainah, ketupat buatan Sungai Baru memiliki kekhasan yaitu tidak mudah basi. Ketupat, kata dia, bisa tahan hingga tiga hari karena menggunakan beras pilihan asli dari Kalimantan Selatan.
Perajin lainnya, Acil Tifah mengatakan, ketupat dari Sungai Baru berbeda dari ketupat kebanyakan. Karena bukan dianyam dari janur kelapa. Ya, bahan janur yang mereka gunakan memang berasal dari daun nipah muda.
“Sejak dulu kami memakai daun nipah. Karena kalau menggunakan pelepah nyiur, ukurannya terlalu kecil. Sementara ketupat kami besar-besar semua,” katanya. Nipah memang banyak ditemukan di daerah ini. Nipah tumbuh di padang rawa. Harga daun nipah seikat Rp30 ribu. Seikat nipah cukup untuk membuat menjadi 150 sampai 200 kurung ketupat. Sebelum dianyam, nipah harus dibersihkan dulu dengan pisau kecil.
“Di sini, anak-anak sedari kecil sudah diajari menganyam ketupat. Kalau sudah lihai, kurang dari satu menit, satu ketupat bisa tuntung (kelar) dianyam,” ujarnya.
Muasal Kampung Ketupat
Asal muasal Kampung Ketupat, menurut cerita warga setempat, tidak bisa dilepaskan dari sosok Haji Banjarmas. Jauh sebelum kawasan Sungai Baru disebut Kampung Ketupat, konon Banjarmas sudah lebih dulu membuat, mengolah, dan menjual ketupat jadi dan juga makurungnya.
Hajah Norhasanah (58 tahun), salah satu anak Banjarmas membenarkan. Kata dia, sebelum banyak yang berjualan ketupat, kebanyakan warga Sungai Baru berprofesi sebagai pedagang. Lalu ayahnya mencoba berdagang ketupat. Tak disangka, ketupat bikinan ayahnya laris.
Pesanan mulai berdatangan. Karena yang pesan banyak, keluarga Banjarmas meminta bantuan tetangga-tetangganya untuk membuat kurung. Berawal dari situ kemudian para tetangganya menjajal ikut berdagang ketupat dan lontong. Perajin, pedagang ketupat, dan lontong pun makin banyak. Saking banyaknya itu, menurut Norhasanah, kampung itu kemudian dijuluki kampung ketupat.
Bentuk ketupat yang dijual pun mulai bervariasi. Ada yang berbentuk burung, bawang, walut (belut), sorban, dan Rasul. Tiap bentuk ketupat mewakili hajatan yang digelar. “Misalnya, ketupat burung untuk keperluan hidangan pesta perkawinan. Untuk menyambut tamu yang baru pulang naik haji, biasanya dihidangkan ketupat sorban. Kalau musim maulid, yang paling dicari ya ketupat Rasul,” kata Norhasanah.
Ketupat produksi di kampung ini memang terkenal seantero wilayah bertajuk Kota Seribu Sungai itu. Tak salah jika pemerintah setempat ingin menjadikan daerah itu sebagai salah satu ikonis Kota Banjarmasin.
Sumber : Indonesia.go.id