KOTA BANDUNG – Paguyuban Kethoprak Serayu Kridho Budoyo (SKB) sukses mementaskan lakon ‘Lambangsari Ngedan’ di Gedung Rumentang Siang, Kota Bandung, Sabtu (6/9/2025) malam. Pertunjukan ini bukan hanya sebuah sajian seni, tetapi juga momentum istimewa dalam rangka memperingati satu dasawarsa atau 10 tahun perjalanan kelompok ketoprak tersebut.
Sejak petang, penonton sudah berdatangan memenuhi area sekitar gedung. Begitu pintu masuk dibuka, kursi-kursi yang tersedia segera penuh. Penikmat seni datang dari berbagai kalangan: masyarakat umum, paguyuban perantau, hingga komunitas seni tradisi di Jawa Barat. Antusiasme itu semakin terasa ketika tepuk tangan dan sorakan penonton menyambut tiap adegan, menunjukkan bahwa kethoprak masih memiliki tempat di hati masyarakat urban.
Perjalanan 10 Tahun yang Penuh Perjuangan
Pimpinan Kethoprak Serayu Kridho Budoyo, KRT. Sagino Budoyo Dipuro, menyampaikan rasa syukur dan kebahagiaan mendalam. Ia mengakui bahwa perjalanan sepuluh tahun bukanlah hal yang mudah.
“Bertahan hingga satu dasawarsa tentu bukan perkara ringan. Ada banyak tantangan, mulai dari keterbatasan dana, regenerasi pemain, hingga dampak pandemi Covid-19 yang membuat kami vakum selama tiga tahun. Namun berkat dorongan, doa, dan bantuan dari semua pihak, kami akhirnya bisa kembali mementaskan ketoprak di Bandung,” ujar KRT. Sagino.
Dalam pementasan ini, 100 orang lebih terlibat, mulai dari pemain, pengrawit gamelan, penata artistik, penata rias dan busana, hingga kru panggung. Jumlah besar ini mencerminkan bahwa kethoprak bukan hanya pertunjukan tunggal, melainkan karya kolaboratif yang menuntut disiplin, kerja sama, dan semangat kebersamaan.
Tak lupa Sagino juga mengucapkan terimakasih atas keterlibatan banyak pihak yang berkenan menjadi pendukung serta tergabung sebagai unsur kepanitian utamanya dari berbagai paguyuban yang ada di Bandung Raya. Secara khusus ia sampaikan apresiasi mendalam kepada para pihak yang tutut dalam menjaga keberadaan SKB sehingga masih eksis.
Anugerah Seni Budaya Bagi Para Tokoh
Sagino menambahkan, peringatan dan perayaan 10 tahun SKB yang kali ini bertema “Mengabdi Seni – Berbhakti Negeri” tak hanya menggelar pertunjukan Kethoprak, namun juga dirangkaikan dengan pemberian Award atau penghargaan yang dirupakan dalam bentuk ‘Anugerah Seni Budaya’.
“Mereka yang mendapat award diantaranya kami anggap telah berkontribusi besar pada eksistensi seni budaya Jawa di perantauan di Bandung Raya ini, utamanya di SKB. Ada kategori pelestari, penggiat, perintis, penggerak, pelopor dan yang terkait dalam proses pelestarian, pengembangan dan pewarisan seni budaya,” kata Sagino.
Penghargaan diserahkan langsung oleh Paguyuban Kusumo Hondrowino Nusantara (PKHN) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yakni AKBP (Purn). Dr (HC) . KP. P. Mulyatno Prawirodiningrat, SH., MH.D.S E.D. (Ketua) dan KRT. Misno Yudo Dipuro (Anggota) kepada para tokoh yang mendapat penghargaan Anugerah Seni Budaya diantaranya ;
R.Ramelan Hadi : Tokoh Pelestari Kethoprak
Tasno Prakoso : Penggiat Kesenian
Narkam (Alm) :Tokoh Perintis Seni Budaya
Sutarno Ketua Paguyuban Gentasentramas : Penggerak Seni Budaya
Ganang Partho Kakiyat : Jurnalis Peduli Seni Budaya Jawa
Mudibyo : Pelopor Seni dan Budaya
Sukiman Sumarto : Tokoh Pemersatu Paguyuban Se-Bandung Raya
Lakon ‘Lambangsari Ngedan’
Pentas dengan lakon berjudul “Lambangsari Ngedan” di sutradarai tokoh kethoprak R.Ramelan Hadi ini, menampilkan sebuah cerita klasik yang sarat pesan moral sekaligus bumbu komedi. Kisah ini mengangkat tokoh Lambangsari, seorang perempuan yang karena tekanan hidup, rasa kecewa, dan pergulatan batin, akhirnya berperilaku seperti orang gila (ngedan).
Dalam lakon tersebut, Lambangsari berjuang menghadapi intrik keluarga, konflik cinta, dan perebutan kekuasaan. Ia dikhianati oleh orang-orang dekatnya, hingga akhirnya mengalami tekanan jiwa. Namun di balik kegilaannya, terselip kritik sosial yang tajam terhadap keserakahan, ketidakadilan, serta pengkhianatan yang kerap terjadi di tengah masyarakat.
Adegan-adegan dramatis ketika Lambangsari menunjukkan “kegilaannya” justru menjadi magnet utama pementasan. Penonton larut antara rasa haru, tegang, sekaligus terhibur dengan selipan humor khas ketoprak yang diperankan para punakawan.
Seorang penonton, Agus (36), perantau asal Jawa Tengah yang kini bermukim di Bandung, mengaku terkesan dengan lakon ini.
“Luar biasa. Ceritanya dalam, penuh pesan moral, tapi tetap menghibur. Saya merasa seperti melihat potret kehidupan nyata yang dikemas lewat seni tradisi,” ujarnya.
Antusiasme Penonton dan Harapan ke Depan
Gedung Rumentang Siang tampak benar-benar penuh sesak. Sebagian penonton rela berdiri demi bisa menyaksikan jalannya cerita hingga selesai. Setiap pergantian adegan selalu diiringi tepuk tangan panjang, pertanda penonton larut dalam alur cerita.
Pimpinan kethoprak menambahkan, pentas kali ini diharapkan menjadi titik balik sekaligus energi baru bagi Serayu Kridho Budoyo. Ia menegaskan komitmennya agar kethoprak tetap hidup, tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sarana pembelajaran dan perekat sosial.
“Kami berharap generasi muda ikut serta, karena tanpa regenerasi seni tradisi bisa hilang. Lambangsari Ngedan adalah bukti bahwa kethoprak masih relevan, masih dicintai, dan tetap bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat,” kata KRT. Sagino.
Ke depan, Serayu Kridho Budoyo berencana menggelar tur ke beberapa kota di Jawa Barat untuk memperkenalkan lakon-lakon ketoprak lainnya. Upaya ini sekaligus membuka ruang kolaborasi dengan komunitas seni lokal dan akademisi.
Ketua Paguyuban Jawa Tengah (PJT) Bandung Raya Farhan Djuniadji angkat bicara terkait pentas 10 tahun Kethoprak SKB. Menurutnya, kesenian yang ditampilkan adalah buah dari kerja budaya yang sangat bagus sekali , sangat menarik.
“Kita sudah lama melihat menikmati kesenian kethoprak di panggung langsung, apalagi di Bandung. Ini bisa menjadi wawasan dalam menyampaikan pesan-pesan moral melalui adegan demi adegan,” kata Farhan.
Dirinya berharap, kedepan SKB bisa meningkatkan kolaborasi antara kesenian tradisional dari Jawa Tengah dan Jawa Barat menjadi rangkaian pertunjukan yang menarik. Seperti semalam, ditampilkan pula Seni Tari Jaipong.
“Selain kolaborasi dengan seniman Jawa Barat, hendaknya Serayu Kridho Budoyo juga mengkomunikasikan pentas seni tradisional itu kepada Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Jawa Tengah, sehingga keduanya dimungkinkan terjadi kolaborasi seni yang yang sangat indah,” ungkap Farhan.
Dengan kolaborasi dan komunikasi yang yang baik kepada para pihak berkepentingan, ia meyakini bisa menjadi nilai tambah promosi kebudayaan Jawa Tengah.
Penutup yang Menggetarkan
Pementasan “Lambangsari Ngedan” ditutup dengan adegan yang menggetarkan, ketika Lambangsari akhirnya menemukan ketenangan batin meski harus melalui jalan panjang penuh penderitaan. Seluruh pemain naik ke panggung, membungkuk memberi penghormatan, diiringi alunan gamelan yang syahdu.
Tepuk tangan panjang menggema, menutup malam penuh kenangan. Perayaan 10 tahun Paguyuban Kethoprak Serayu Kridho Budoyo bukan hanya pesta seni, tetapi juga bukti nyata bahwa semangat melestarikan budaya Jawa tetap hidup di tengah hiruk pikuk Kota Bandung. [ast_gpwk]