Laksana roda yang berputar
Hidup tak selalu bersinar
Tanpa kita sadar
Semua kan memudar
Tercatat dan berlalu lembar demi lembar
Namun tetaplah seperti bintang biar
Kecil cahayanya berpendar
Jadilah pipit berhati pinguin biar
kecil selalu riang dan sabar
Karena pinguin setia dan tegar
Itulah kehidupan seorang Vivi Kartika Dewi. Di balik tubuh mungilnya kesuksesan dan kegagalan silih berganti. Sesuai nama panggilannya “ Pipit” mengingatkan kita pada nama burung yang mungil dan kecil namun suka bernyanyi dan menari. Kicaunya terdengar merdu di pagi hari. Begitulah jejak langkah Pipit dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Sebagaimana kesukaannya terhadap burung pinguin yang menjadi inspirasi, Pipit selalu ceria apapun yang terjadi. Sosoknya seakan perpaduan antara burung Pipit dan pinguin yang penuh ilusi.
Saat menerima penulis di penghujung November 2020 pada Sabtu siang, Pipit mengenakan t-shirt berwarna hitam yang dipadu dengan celana panjang. Rambutnya yang bergelombang keemasan dibiarkan terurai hampir pinggang. Dilahirkan dari keluarga intelek dan terpandang, Puteri dari seorang akuntan publik ini mengisahkan perjalanan singkat hidupnya dengan mata menerawang.
Perempuan bernama lengkap Hj.Raden Vivi Kartika Dewi ini adalah Puteri dari pasangan Hj.Yayah Warsilah dan Soemita Adikoesoema. Ayahnya yang keturunan trah Kesultanan Kasepuhan Cirebon adalah seorang akuntan publik dan guru besar perguruan tinggi negeri terkemuka. Dilahirkan 52 tahun lalu dengan 11 bersaudara, Pipit tumbuh dan dewasa sedikit berbeda dengan saudara-saudarinya. Penyuka burung pinguin ini dikenal sebagai “Pipit ngacir” julukan yang diberikan teman-temannya karena selain tomboy, rada ugal-ugalan, juga suka memotoran yang amat digandrunginya.
Hobbynya akan kehidupan jalanan, memang seakan bertolak belakang dengan keluarganya yang bangsawan. Karena itu tentu saja memotoran Vivi amat berkelas yang berbeda dengan balap liar di jalanan. Konvoi bersama “Cosa Nostra Club Motorcycle” tubuh mungilnya pas saja saat menaiki “Mr.Harley Davidson” dan nampak elegan dengan kostum serba hitam yang dikenakan. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMPN 2 Bandung) pangais bungsu ini memang senang kebut-kebutan. Meski senang memotoran, Pipit remaja amat menghormati orang tua dan taat aturan.
” Orang tua saya membolehkan saya main atau melakukan aktivitas apapun asal positif sepulang sekolah, termasuk boleh memotoran tapi jam 6 sore harus sudah di rumah. Aturan ini saya patuhi dan kepercayaan orang tua saya jaga dengan amanah. Tidak berani saya membantah,” ujar Direktur PT Gemilang Utama Perdana ini sumringah.
Begitulah, ada 3 aturan utama di rumah. Berprestasi mendapat hadiah. Pukul 18.00 sudah di rumah.Tidak boleh merokok, boleh merokok asal sudah bisa sendiri mengais pundi rupiah. Dan itu yang terpatri di hati Pipit kemana pun melangkah. Naluri merokoknya yang bergejolak membuat Pipit sejak usia remaja sudah punya penghasilan yang diperoleh tanpa membuat orangtua susah. Maka pada semester pertama studinya memutuskan bekerja di perusahaan kontraktor sambil kuliah.
Begitu lulus dari Fakultas ilmu Sosial Politik dan administrasi perkantoran suatu Akademi Sekertaris, tak sulit bagi penyuka traveling ini mendapat pekerjaan dan berbisnis. Soemita ayahandanya, yang memiliki yayasan pendidikan, langsung menempatkan Vivi di posisi penting dan strategis. Jabatan Pembantu Direktur II Akademi Akutansi Bandung (A2B) ia duduki selama 13 tahun sejak awal dirintis.
Roda kehidupan terus melaju dan menderu. Laksana deru motor kesayangannya saat kencang melaju. Kefanatikan Vivi gandrung terhadap “Mr Harley ” jenis “Softail” itu seakan sudah lengket menyatu. Dengan mesin V-Twin Milwaukee Eight, motor gede asal negeri Paman Sam ini di”custom” oleh tangan dingin “Sinyo Edan” bisa membawa Vivi dalam hitungan detik melesat maju dengan deru mesinnya yang merdu. Sinyo Edan (builder motor Harley) di kalangan pemotor Harley dikenal piawai memodivikasi, sehingga ia selalu dicari dan diburu.
Memang, awal hobbynya naik Harley, diungkapkan Vivi karena suka akan derumannya yang merdu. Dari hobbinya ini juga yang mengantarkan Vivi Kartika Dewi dengan Riza Mochamad Rinaldhy bertemu. Riza adalah teman sekelas SMP-nya dulu. Selama 22 tahun tak bertemu, di Club Harley secara tak sengaja bertemu. Mengaku cinta dari dulu tapi mau mengungkap cinta amat segan dan malu. Begitu bertemu tak ada alasan lagi untuk malu. Riza pun berani menyatakan kalau selama ini di hatinya ada cinta menggebu dan birunya rindu. Tanpa membuang waktu pasangan yang sudah tak lagi muda ini segera menghadap penghulu.
Setelah menikah Vivi dan Rinaldhy pindah ke Jakarta. Di ibukota mereka mulai kehidupan baru dengan berwiraswasta. Berbagai bisnis dicoba.Bengkel cuci mobil awal usaha. Terus merambah dan sukses dengan 7 cabang rumah makan “Bale Sunda”. Namun mahalnya sewa tempat dan melambungnya harga -harga, usaha rumah makannya, satu demi satu akhirnya ditutup karena rugi alias tak menghasilkan laba.
Sesuai dengan motto hidupnya bahwa “hidup adalah perjuangan, jangan pernah menyerah dengan kegagalan,” Vivi pun beralih ke usaha persalonan. Usaha salonnya ini pun yang sudah punya 2 cabang, akhirnya dihentikan. Hanya bertahan sekitar 2 tahunan.
Dan masa -masa suram pun mulai menerjang seakan tak terkendalikan. Keputusannya pergi haji dengan suami di tahun 2012 adalah langkah tepat untuk menenangkan pikiran. Namun musibah seakan bertubi-tubi datang menerjang kehidupan. Sepulang dari tanah suci justru mantan Wadir II ini harus menelan pil pahit kehilangan puluhan milyar akibat penipuan.
” Hal itu yang benar-benar menguji keimanan. Saya terlempar dalam jurang kekecewaan dan kehancuran. Untungnya masih baru hajinya, jadi saya bisa bertahan,” ungkap Pipit sambil menghembuskan asap rokok yang membentuk awan tipis yang akhirnya hilang di udara.
Begitulah roda kehidupan, membayangi perjalanan panjang bisnis dan hidupnya yang berliku silih berganti antara kegagalan dan kesuksesan. Kadang berada di atas, kadang berada di bawah, namun Vivi seperti burung Pipit tetap riang. Ia percaya selalu masih ada harapan ke depan.
Akhirnya setelah 11 tahun hidup di kota Metropolitan, sosok yang pernah aktif sebagai pengurus PHRI Depok ini, pada tahun 2016 bersama keluarganya memutuskan kembali ke Bandung, ke kampung halaman. Tak pernah menyerah dengan keadaan. Perempuan berhati baja ini ingin menikmati kehidupan dan perannya sebagai isteri idaman. Melayani Riza sang suami dan Geraldo Kaesar Rinaldhy, anak semata wayangnya yang seniman. Kini putri turunan ke-15 Kesultanan Kasepuhan Cirebon ini kembali bangkit dengan menggeluti bisnis baru mengelola guest house “Le Vallon” di Dago dan 2 perusahaan.
PT Gemilang Utama Perdana dan PT Putra Naya Perkasa, adalah dua perusahaan miliknya yang mulai dirintis sejak tahun 2018. Dengan dua perusahaannya ini yang bergerak di bidang pengangkutan dan pengadaan mesin pengolahan sampah dan limbah medis, bukan sekedar bisnis, tapi merupakan perwujudan keinginan untuk berkarya tanpa batas. Perusahaan yang bergerak untuk penyelamatan lingkungan demi negeri Nusantara yang besar dan amat luas.