Pencak Silat ialah produk akulturasi budaya. Merujuk Sheikh Shamsuddin (2005) dalam The Malay Art of Self-Defense: Silat Seni Gayong, disebutkan ada pengaruh kuat ilmu bela diri dari Tiongkok dan India dalam pembentukan ilmu silat. Kuatnya warna akulturasi ini juga memperlihatkan bahwa karaketeristik kebudayaan di Indonesia pada dasarnya bersifat kosmopolitan dan terbuka.
Seperti telah disinggung dalam artikel Pencak Silat, Go International!, sejak Maret 2017 Indonesia telah memproklamasikan dan mendaftarkan Pencak Silat sebagai nominator Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan ke UNESCO. Mengingat seni bela diri tradisional asli Melayu ini nisbi telah mendunia, hasilnya juga mudah diprediksi dengan rasa optimistis.
Pada sidang ke-14 Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO di Bogota, Kolombia, pada Kamis, 12 Desember 2019, telah menetapkan pencak silat masuk ke dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Dalam pertimbangannya, Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO itu memandang, bahwa pelestarian tradisi pencak silat telah menunjukkan aspek yang mendorong penghormatan dan persaudaraan serta proses kohesi sosial, bukan hanya di satu wilayah, tetapi juga secara nasional bahkan di dunia internasional.
Sidang Komite Warisan Budaya Tak benda UNESCO berlangsung dari 9 – 14 Desember 2019. Delegasi Indonesia yang turut hadir terdiri dari Deputi Wakil Tetap RI untuk UNESCO Surya Putra Rosa sebagai ketua, Duta Besar Indonesia untuk Kolombia Priyo Iswanto, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Nadjamuddin Ramly, Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno, dan sejumlah staf dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam kata sambutannya Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO Surya Rosa Putra menyampaikan bahwa tradisi silat bukan hanya sekadar bela diri, melainkan juga menjadi jalan hidup bagi para pelakunya. “Pencak silat mengajarkan kita untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan. Meskipun pencak silat mengajarkan teknik menyerang, yang terpenting adalah pencak silat juga mengajarkan kita untuk dapat menahan diri dan menjaga keharmonisan,” ujarnya.
Tentu, penetapan pencak silat sebagai Warisan Budaya Takbenda adalah kabar gembira buat bangsa Indonesia. Ada empat aspek dalam tradisi pencak silat, yakni mental-spiritual, pertahanan diri, seni, dan olahraga, yang membuat seni bela diri tradisional masyarakat Indonesia ini tercatat sebagai Warisan Budaya Dunia. Penetapan UNESCO ini juga berarti bentuk pengakuan masyarakat internasional terhadap arti penting tradisi seni bela diri yang dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia.
Ya, istilah pencak silat sendiri adalah penggabungan dua kata, yakni ‘pencak’ dan ‘silat’. Istilah pencak lebih dikenal di Jawa, sedangkan istilah silat lebih dikenal di Sumatra Barat. Sekalipun kedua daerah ini memiliki kemiripan dalam filosofi dan prakteknya, masing-masing memiliki kekhasan dari segi gerak, musik pengiring, dan peralatan pendukung. Istilah pencak silat sendiri sebagai satu frasa digunakan sejak 1948 untuk mempersatukan berbagai aliran seni bela diri tradisional yang berkembang di Indonesia.
Pencak silat ialah seni bela diri tradisional. Tradisi ini berasal dari nenek moyang dan diturunkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Menariknya, seni bela diri tradisional ini bukan saja masih terpelihara dengan sangat baik, bahkan juga berkembang pesat di tengah masyarakat pewarisnya.
Menariknya lagi, bicara siapa masyarakat pewarisnya kini ternyata bukan hanya sebatas bangsa Indonesia—atau sebutlah bagi mereka yang tinggal di wilayah Kedatuan Melayu seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, atau Thailand—melainkan juga bahkan masyarakat dunia. Bagaimana tidak, merujuk laman resmi Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antarabangsa), yakni satu-satunya asosiasi internasional pencak silat, hingga kini seni bela diri tradisional ini setidaknya telah eksis tersebar pada 53 negara.
Tugas Indonesia ke depan ialah berkomitmen total untuk senantiasa menjaga kelestarian dan upaya pelestarian tradisi ini. Salah satunya ialah melalui pendidikan pencak silat, yang tidak hanya fokus pada aspek olah raga atau bela diri, namun juga sebagai bagian dari kurikulum seni dan budaya. Selain itu, Indonesia juga harus berkomitmen total untuk mempromosikan silat ke berbagai negara, melalui serangkaian perlombaan atau eksibisi, baik nasional atau internasional, supaya eksistensinya semakin dikenal dan mendunia.
Patut diingat, Indonesia selama ini telah berkontribusi dan menginisiasi masuknya cabang olah raga pencak silat di tingkat internasional. Sebutlah, Pesta Olah Raga Asia Tenggara atau SEA Games, misalnya. Bermula dari SEA Games ke-14 pada 1987, dan sejak itu hingga kini cabang olah raga ini konsisten dipertandingkan di ajang bergengsi di tingkat regional Asia Tenggara.
Tak hanya itu, pada Asian Games ke-XVIII di Indonesia pada 2018, Indonesia juga kembali berhasil mendorong pencak silat masuk sebagai cabang olah raga yang dipertandingkan dalam Pesta Olah Raga se-Asia.
Seni Multidimensional
Kisah tentang asal-usul silat memang memiliki banyak versi dan variasi. Ini mudah dipahami, pasalnya narasi tentang asal usul seni bela diri tradisional ini lazimnya bersumber dari tradisi lisan masyarakat pewarisnya. Masing-masing daerah di Indonesia dan ragam aliran yang berbeda bisa dipastikan juga memiliki kisah asal-usulnya sendiri.
Legenda di Minangkabau, umpamanya, bercerita bahwa pencak silat diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan pada abad ke-11. Kemudian pencak silat dibawa dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia Tenggara. Lain halnya dengan legenda atau folklore asal usul aliran Cimande yang berkembang di Jawa Barat. Dikisahkan, konon, bahwa teknik gerakan silat ini bersumber dari mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dan monyet.
Adanya keragaman seni bela diri tradisional ini terlihat dari adanya keragaman istilah penyebutannya. Erwin Setyo Kriswanto (2015) dalam bukunya Pencak Silat setidaknya memberikan contoh keragaman istilah itu. Misalnya di Sumatra Barat disebut dengan istilah silek dan gayuang; di pesisir Timur Sumatra Barat dan Malaysia dengan istilah Bersilat; Jawa Barat menyebutnya dengan istilah maempok dan penca; Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur menggunakan istilah pencak; Madura dan Pulau Bawean dengan istilah mancak; Bali menyebutnya dengan istilah mancak atau encak; Kabupaten Dompu dan NTB dengan istilah mpaa sila; dan lain sebagainya.
Namun demikian terdapat hipotesa historis yang telah ditulis oleh para peneliti asing. Sebutlah Donn F Draeger (1977), misalnya. Dalam karyanya The Weapons and Fighting Arts of Indonesia, ia berpendapat bahwa bukti adanya seni bela diri bisa dilihat dari berbagai artefak senjata yang di temukan dari masa Hindu-Budha. Tak kecuali, masih seturut Draeger, prototipe kemunculan tradisi ini juga bisa dicermati di Candi Prambanan dan Borobudur. Relief-relief di kedua candi ikonik Indonesia ditemui bentuk-bentuk pahatan yang sinyalir sebagai melukiskan sikap-sikap kuda-kuda dari teknik silat.
Lain lagi pendapat Margaret Kartomi (2011). Dalam hasil studinya tentang suku Mamak, Traditional and Modern Forms of Pencak Silat in Indonesia: The Suku Mamak in Riau, selain menduga kemunculan silat seiring penyebaran kebudayaan Melayu Kuno sejak era Kerajaan Sriwijaya, ia juga tidak menutup kemungkinan asal usulnya jauh lebih tua lagi. Adanya penamaan gerakan teknik silat dengan nama binatang, adanya nyanyian atau musik magis yang menunjukkan rasa hormat pada leluhur, plus adanya asosiasi kosmologis tertentu pada ilmu silat terkait pemaknaan hidup seorang pesilat, adalah beberapa kata kunci di balik tafsiran kartomi pada kesimpulan tersebut.
Ya, seni bela diri tradisional ini memang unik. Di beberapa wilayah seperti di Sumatra, Jawa, Bali, atau Nusa Tenggara, misalnya, pencak silat terlihat bukan saja diramu menjadi satu dengan seni tradisi seperti tari dan musik, melainkan juga sangat terkait erat dengan pandangan spiritualitas masyarakat.
O’ong Maryono (2000), pesilat dan penulis buku Pencak Silat Merentang Waktu mengungkapkan, pencak silat adalah aktivitas seni bela diri yang di dalamnya terkandung olah tubuh dan olah batin. Draeger dan Kartomi juga mencatat kuatnya warna spiritualitas dalam pencak silat ini.
Merujuk artikel Anom Astika (2018), Kelebat Bela Diri Nusantara, merujuk O’ong Maryono dipaparkan setidaknya terdapat empat unsur yang membentuk tradisi silat ini. Pertama, sebagai ekspresi seni. Pencak silat adalah wujud kebudayaan dalam bentuk gerak dan irama yang berpedoman pada kaidah keselarasan, keseimbangan dan keserasian. Adanya konsep wiraga, wirama dan wirasa ini menjelaskan mengapa silat merupakan bagian dari seni pertunjukan.
Kedua, sebagai teknik bela diri. Pencak silat adalah upaya manusia memperkuat naluri pertahanan diri. Hal ini juga bisa dibahasakan sebagai bentuk latihan kewaspadaan maupun kepekaan terhadap lingkungan sosial. Dalam gerakan silat, kepekaan ini diwujudkan dalam bentuk kecermatan dan keawasan melihat gerak-gerik lawan. Kepekaan ini sangatlah penting, pasalnya semua gerakan silat selalu berkarakter menghindar dengan cepat, ringan, penuh tipuan, supaya pesilat akhirnya bisa mengendalikan dan menundukkan lawan dengan cara yang halus dan efektif.
Ketiga, sebagai bentuk olahraga. Pencak silat jelas mengutamakan latihan fisik untuk memperkuat ketangkasan, kelincahan, maupun kelenturan tubuh. Ada keteraturan gerak badan, ada disiplin latihan fisik, semuanya itu ditujukan untuk kesehatan, kebugaran, dan kemampuan bersilat itu sendiri. Lebih-lebih dalam berbagai teknik silat, gerakan yang lembut dan lentur pada akhirnya lebih diutamakan supaya pesilat bisa menahan dan kemudian menundukkan berbagai serangan musuh.
Keempat, pencak silat adalah juga bermakna olah batin. Olah batin ini menitikberatkan pada pembentukan sikap dan kepribadian si-pesilat sesuai dengan falsafah budi pekerti luhur. Dengan begitu berlatih ilmu silat juga berarti upaya menjaga, menghayati dan mengamalkan norma-norma sopan santun dan adat istiadat, baik dalam dunia persilatan maupun dalam ranah sosial secara umum.
Atau, masih seturut Astika, bicara tujuan belajar ilmu pencak silat dapat disimak dari ungkapan pendiri aliran silat Perisai Diri, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, yang pernah mengatakan sebagai berikut: “Tujuan berlatih ilmu silat adalah untuk memelihara kesehatan, ketenangan dan kepercayaan kepada diri sendiri. Dilarang untuk berkelahi, sombong, mencari musuh dan berbuat apapun yang akan berdampak tidak baik untuk pribadi maupun pihak lain. Pokoknya semua itu untuk keselamatan dan kebaikan Budi. Itulah perisai diri yang ampuh.”
Keunikan lain ialah produk akulturasi budaya. Merujuk Sheikh Shamsuddin (2005) dalam The Malay Art of Self-Defense: Silat Seni Gayong, disebutkan ada pengaruh kuat ilmu bela diri Tiongkok dan India dalam sejarah pembentukan ilmu silat. Ini mudah dipahami, sejak mula kebudayaan Melayu dan juga Indonesia secara umum telah mendapat pengaruh dari para pedagang maupun perantau dari Tiongkok dan India.
Kuatnya akulturasi dalam seni bela diri tradisional ini juga memperlihatkan, bahwa karaketeristik kebudayaan Indonesia pada dasarnya bersifat kosmopolitan dan terbuka. (W-1)
Sumber : https://www.indonesia.go.id