Suharyono Cokro Wardoyo, terpilih sebagai Ketua Paguyuban Warga Karangrena (Pawaka) Bandung 1973, setelah dilakukan penghitungan kertas suara pemilihan secara menyeluruh dari 9 (sembilan) koordinator wilayah se-Bandung Raya, di Balai RW 06 Jl. Sukaluyu I Cihaur Geulis – Cibeunying Kaler Kota Bandung, Minggu sore 15/12.
Suharyono (Nomor Calon 4) meng-ungguli 3 kandidat lainnya dengan 93 suara. Kandidat lainnya masing – masing ; Sukarmo Larisa Print (Nomor Calon 1) 89 suara, Tasno Nano Prakoso (Nomor Calon 2) 27 suara dan Supriyanto (Nomor Calon 3) dengan 82 suara.
PEMILIHAN KETUA DILAKUKAN KELILING
Yang menarik adalah, proses pemilihannya yang dilakukan berbeda dari kelaziman sebuah pesta demokrasi. Bisa jadi tak lazim, karena belum pernah ada metode demikian diterapkan dalam proses sebuah suksesi organisasi, paguyuban atau sekadar perkumpulan masyarakat. Ketua Panitia – Pemilihan Hadi Sunarto menjelaskan, Pawaka Bandung 1973 terbagi dalam 9 Koodinator Wilayah, yang tersebar di Bandung Raya dan sekitarnya. Masing – masing Korwil itu adalah ; Kopo, Kebon Kopi, Cimahi, Pasteur, Pulosari, Bojong Kacor, Cicaheum, Kiara Condong, dan Ciwastra. Dari sembilan korwil itu kurang lebih berjumlah 200 Kepala Keluarga dan lebih dari 200 orang yang belum berkeluarga. Diperkirakan sekitar 700 orang yang mempunyai hak suara dalam Pemilihan Ketua kali ini.
“Hasil rapat dan musyawarah akhir dengan seluruh kepengurusan bersama para sesepuh serta sebagian anggota, akhirnya menyepakati dan memutuskan seluruh Calon Ketua di pilih hanya oleh kepala keluarga dan anggota Pawaka yang masih lajang saja. Artinya, tidak suami beserta istri ataupun dengan anak-anaknya yang sudah beranjak dewasa yang sebetulnya sudah layak dan mempunyai hak pilih”, papar Hadi.
Akhirnya Panitia pemilihan mengidentifikasi bahwa setelah pendataan ulang, terdapat 230 + yang berhak memberikan hak suaranya. Maka, proses pemungutan suara dilakukan korwil sejak 25 November hingga 01 Desember 2019. Untuk memberikan keleluasan pada warga / anggota, maka panitia juga beri kelonggaran pada proses pencoblosan itu hingga 2 minggu berjalan. Selanjutnya, setelah dua minggu kertas suara dari tiap korwil dikumpulkan jadi satu di rumah ketua panitia hingga dilakukan proses penghitungan dan disaksikan bersama, pada Minggu 15/12.
Penghitungan suara yang berlangsung hampir 2 jam, dalam suasana cair penuh kegembiraan, kekeluargaan dan keceriaan. Meski tergambar pula, ada sedikit ketegangan perasaan dari sebagian kandidat, tetapi tak berimbas ketegangan ataupun saling ejek dari para pendukung masing – masing calon. Akhir penghitungan, mencerminakn sebuah euphoria demokrasi kecil yang patut di contoh serta di pertahankan di sebuah paguyuban.
Drs. Susanto, M.Si – Ketua Pawaka Bandung 1973 menjelaskan, ide pemilihan Ketua dengan cara “kertas suara coblosan keliling” adalah program-nya, agar semua anggota merasa di libatkan dalam proses pemilihan, sebagai bagian dari hak memilih dan dipilih. Menurut Susanto, sejak berdirinya Pawaka, sistem pemilihan ketua biasanya ditunjuk langsung oleh sesepuh/tokoh/bahkan pendiri. Karena-nya, untuk ketua periode 2020 -2025, agar di buat petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk tehnis (juknis) nya serta aturan baku tentang mekanisme pemilihan ketua. Tahapan itu dimulai adanya penjaringan bakal calon, penentuan calon, pemungutan suara / pencoblosan, penghitungan suara, hingga pelantikan dan serah terima dari ketua lama kepada ketua baru terpilih.
Susanto akan mengakhiri jabatannya hingga 31 Desember 2019. “Karena hari ini hanya proses perhitungan suara dan penetapan Ketua terpilih selanjutnya, maka saya akan melanjutkan hingga waktu pelantikan tiba pada 19 Januari 2020 mendatang. Itu yang menjadi kesepakatan kita bersama. Sekaligus disepakati sebagai penggantian kepengurusan”, paparnya.
SOLID SEJAK 1973
Tahun ini usia Pawaka masuki 46, artinya sesaat lagi beberapa waktu mendatang masuki usia 47 Tahun. Pertanyaan besar yang bergelayut dalam benak semua, benarkah paguyuban ini, sekarang telah memasuki usia yang tak bisa disebut belia, yaitu 46 tahun. Artinya, paguyuban ini dideklarasikan pada tahun 1973 silam. Ternyata benar adanya. Lebih lanjut Susanto, menjelaskan, Paguyuban Warga Karangrena, sesungguhnya telah dibentuk pada jelang akhir tahun 60an, di desa Karangrena, salah satu desa di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap – Jawa Tengah. Beberapa tokoh dan tetua desa, pula warga setempat bersepakat menjadikan paguyuban tersebut sebagai sarana untuk mempererat silaturahmi dan sarana komunikasi bersama.
Masih menurut Susanto, ketika awal tahun 70an beberapa warga Karangrena (ada yang telah berkeluarga dan beberapa diantaranya masih bujang) merantau ke Bandung, mereka bersepakat untuk tetap menjalin silaturahmi sesama warga perantau desa setempat, dengan mendeklarasikan PAWAKA Bandung. Peristiwa ini tercatat pada tahun 1973. Dari beberapa perantau ini (kurang dari 10 orang dari beberapa keluarga), lama kelamaan menjadi bertambah anggotanya, hingga mencapai ratusan.
Sebuah paguyuban tentu harus diorganisir dengan baik bila ingin bertahan lama dan terus berkembang. Komitmen itulah yang mendasari regenerasi dari masa ke masa dengan mereka melakukan pemilihan ketua dan pengurus, setiap 5 (lima) tahun sekali. Untuk memudahkan komunikasi, Pawaka membentuk Koordinator Wilayah (korwil), di Bandung (Raya) kini telah ada 9 korwil. Selain Bandung, warga perantau asal Karangrena ini juga tersebar di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan kota kota besar lainnya, yang pula akhirnya mendirikan paguyuban yang sama. Mereka yang tersebar diberbagai kota dan daerah itu, lakukan silaturahmi akbar setiap lima tahun sekali di Kampung Halamannya, Desa Karangrena.
Lebih lanjut Susanto menjelaskan, di Bandung tiap bulannya masing masing korwil tadi lakukan silaturahmi, berkala dengan adakan pertemuan bergilir di rumah anggotanya. Pertemuan itu, selain diisi dengan arisan, pula untuk mengumpulkan “kencleng” atau sumbangan sukarela dan iuaran wajib, sebagai kewajiban anggota untuk paguyuban mereka. Uang yang terkumpul, dikelola pengurus dan atas kesepakatan anggota digunakan untuk operasional organisasi, plus untuk kegiatan kegiatan yang sudah menjadi program kerja. Termasuk diantaranya, dana sosial yang dihimpun untuk kepentingan “sosial” keaggotaan, dan hal hal tak terduga bila dibutuhkan.
Lalu apa yang menjadikan PAWAKA bisa berumur panjang, bahkan terus berkembang? Susanto menjawab, dasarnya adalah ketulusan bersilaturahmi. Persamaan nasib sekampung halaman yang merantau jauh dari desa asal, harus saling bahu membahu membantu dan miliki kepedulian. Ia tak menampik, sebagian besar bahkan diatas 60% yang anggota PAWAKA adalah pekerja informal di Bandung Raya, ini memudahkan-nya untuk saling meyakinkan sesamanya, bahwa tujuan utama berkumpul adalah murni silaturahmi, tak ada embel embel lainnya. Namun demikian Susanto juga menyebut, dinamika paguyuban juga sangat tinggi. Yang utama baginya adalah, mengakomodir keseluruhannya, mejadikannya energy positif untuk salaing menghormati, saling menghargai, saling memfasilitasi, dan berdemokrasi dalam lingkup organisasi yang kecil itu, dengan santun dan tetap menjunjung tinggi azas tepo sliro, keramahtamahan dan yang utama adalah berbijak pada semua hal.
Ditangan Suharyono Cokro Wardoyo yang terpilih sebagai Ketua Paguyuban Warga Karangrena (Pawaka) Bandung 1973, periode 2020- 2025 bersama segenap kepengurusannya, Pawaka tentu miliki tugas berat, yang akan ringan bila dilakukan penuh keikhlasan, yaitu kesungguhan hati dalam silaturahmi. Dengan, melanjutkan program kerja dan prestasi dari Ketua dan kepengurusan periode – periode sebelumnya. (np-gp)