Washington DC -Penggunaan alat pelindung diri pada masa perebakan virus corona menjadi kebiasaan baru sesuai anjuran para pakar kesehatan dan pemerintah. Mengenakan masker dalam kegiatan sehari-hari, bahkan ketika berolah raga, termasuk bersepeda, diharapkan akan mencegah perebakan lebih jauh.
Tetapi bagaimana dampak penggunaannya untuk mereka yang menderita penyakit terkait pernafasan atau jantung?
Selama beberapa tahun terakhir, bersepeda telah menjadi pilihan olah raga yang popular di Indonesia. Masyarakat umum tertarik memilih jenis olah raga ini, demikian pula para pegawai dan pejabat pemerintah yang mengkampanyekan kegiatan berolah raga dan kesehatan.
Soes Hindharno, penggemar olah raga bersepeda yang juga pejabat Kementerian Tenaga Kerja RI, sudah bersepeda secara rutin selama tiga tahun terakhir. Ia biasanya bersepeda menempuh jarak 10 kilometer, paling tidak tiga kali seminggu. “Naker itu logonya semut, semut hitam karena semut itu ikonnya, semut itu kala bekerja selalu Bersama-sama. Biarpun sekarang tidak dipakai sebagai logo kementrian tapi kelompok sepeda di Kementrian Tenaga Kerja, Namanya Black Ant Community. Kalau semut kan tidak bisa kerja sendiri, semut pun kalau bertemu semut lain akan berhenti bertegur sapa,” tukasnya.
Kematian berturut-turut beberapa pesepeda yang mengenakan masker di Semarang, Jakarta dan Bekasi, membuat sebagian masyarakat bertanya-tanya mengenai tata cara pemakaian alat pelindung diri itu ketika berolah raga, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit sebelum perebakan COVID.
Dokter I Ketut Susila adalah ahli penyakit jantung pada RSUD Buleleng di Singaraja, Bali. “Dengan pandemi sekarang ini, semua orang diharapkan memakai masker. Kalau orang yang berolah raga khususnya bersepeda memang pakai masker tapi harus hati-hati. Kalau berolahraga speed atau kecepatannya tinggi memang kekurangan oksigen jadinya. Apalagi dasarnya punya penyakit jantung bisa kena serangan jantung akibat kekurangan oksigen. Pada saat demikian jika sudah bisa mengatur jarak dengan teman tidak memakai masker juga tidak apa-apa,” ujarnya.
Bagi pesepeda kematian terkait pemakaian masker membuat mereka waspada untuk mengenali kelelahan fisik ketika berolah raga dan memahami kapan harus memperlambat atau menghentikan kegiatan.
“Kalau saya pribadi tanda kutip memang dipanggil yang diatas, orang sesehat apapun juga bisa meninggal bahkan yang berolahraga. Di usia saya yang sudah diatas 59 harus sadar secara kolektif atau pribadi kalau memang ada yang mengganggu di organ tubuh saya, betisnya panas atau nafasnya tersengal-sengal terus sudah menggunakan persenilngnya yang rendah untuk tanjakan saya berhenti, minum, istirahat sebentar. Saya putuskan apakah gowes kembali atau saya tuntun sampai tempat datar,” tambah Soes Hindharno.
Bukan hanya pesepeda yang harus memperhatikan kondisi kesehatan ketika berolah raga, namun juga penggemar olah raga lain seperti lari, jalan cepat, bahkan kebugaran. Memiliki riwayat penyakit sebelum perebakan virus bisa menempatkan seseorang dalam risiko lebih besar terkena virus.
“Dari data yang ada kebanyakan di Indonesia terutama di Bali ada tiga penyakit utama yang rentan. Pertama orang yang punya riwayat darah tinggi atau hipertensi, kedua diabetes dan yang ketiga penyakit jantung,” kata Ketut Susila.
A.A Pramudyawati, dokter gigi yang juga menderita penyakit jantung, sudah terbiasa mengenakan masker karena pekerjaannya. Masker baginya adalah keharusan, bukan penghambat kegiatan. “Mungkin karena sudah terbiasa pakai masker kalau keluar sebelum pandemi ini.”
Sebagian pakar kesehatan Amerika, sebagaimana dilaporkan harian New York Times, mengatakan penggunaan masker pada saat berolah raga lari atau bersepeda tidak menjadi suatu keharusan. Penggunaan masker hanya diperlukan ketika berdekatan dan berinteraksi dengan yang lainnya. [my/ka]
Sumber : VOA Indonesia