Oleh: Indari Mastuti
Disarikan dari pertemuan dengan Ibu Siti Muntamah, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar
Cinta kepada ibu hari ini benar-benar tergambar dengan nyata, ibu sebagai pusat kehidupan.
Beliau berbicara dengan statistik tentang angka yang tidak kecil. Penduduk Jawa Barat ini mencapai sekitar 51 juta jiwa, dengan 17,3 juta keluarga di dalamnya.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, dan menguatkan kehidupan.

Beliau menegaskan satu hal: peran ibu tidak bisa disempitkan hanya pada urusan domestik. Ibu bukan sekadar pengelola rumah tangga. Ibu adalah arsitek peradaban.
Perempuan memang hanya separuh dari jumlah penduduk. Namun seluruh penduduk lahir dari perempuan karena itulah, berbicara tentang perempuan sejatinya adalah berbicara tentang masa depan peradaban itu sendiri.
Bangsa dan negara tidak akan pernah siap menghadapi tantangan masa depan jika peran ibu tidak dipersiapkan dan diperjuangkan secara sungguh-sungguh.
Kita membutuhkan perempuan dengan peran yang lebih optimal—perempuan yang paham hak-haknya, kuat jiwanya, dan sehat mentalnya.
Perempuan adalah makhluk sosial. Ia berpikir melalui relasi, menguat melalui kebersamaan, dan bergerak ketika dihargai.

Ketika ruang perempuan diisi dengan ilmu, teladan, dan visi, maka perempuan tidak hanya pulih—ia bangkit.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa perempuan-perempuan besar lahir bukan tanpa luka, tetapi karena makna. Khadijah, Aisyah, Fatimah, dan para perempuan mulia sepanjang peradaban tidak dikenal karena keluhannya, melainkan karena keteguhan iman, keluasan ilmu, dan keberanian mengambil peran.
Ketika perempuan diperkuat, maka keluarga akan bahagia dan ketika keluarga bahagia, insya Allah ruang-ruang kehidupan akan terasa lebih hangat, lebih manusiawi, dan lebih menyenangkan—termasuk ruang kerja, ruang sosial, dan ruang pengabdian.
Kebahagiaan ibu bukan hanya urusan pribadi. Ia adalah pondasi kebahagiaan bangsa.














