Oleh: Febri Satria Yazid
Di tengah hiruk pikuk dunia kerja modern, komunikasi sering disebut sebagai kunci utama keberhasilan. Rapat, diskusi, laporan, dan korespondensi harian menjadi urat nadi yang menggerakkan organisasi.
Namun, komunikasi yang ideal bukan sekadar soal menyampaikan pesan, melainkan juga tentang bagaimana pesan itu disampaikan.
Di sinilah adab dan budi bahasa mengambil peran penting. Tanpa keduanya, komunikasi kehilangan martabat, dan ruang kerja yang seharusnya profesional justru berubah menjadi ladang konflik.
Lingkungan kerja semestinya menjadi ruang yang aman dan sehat bagi pertukaran gagasan. Tempat di mana setiap orang, tanpa memandang jabatan, dapat bertanya, mengemukakan pendapat, atau menyampaikan kritik dengan cara yang wajar.
Perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Tidak ada organisasi yang tumbuh tanpa dialektika, tanpa proses saling menguji ide.
Namun, ketika sebuah pertanyaan yang diajukan secara sopan justru dibalas dengan hardikan, bentakan, atau nada merendahkan, di situlah komunikasi mulai kehilangan esensinya.
Kekerasan verbal sering kali dianggap sepele. Banyak orang menganggapnya sekadar luapan emosi sesaat, gaya bicara yang “tegas”, atau bagian dari tekanan pekerjaan.
Padahal, kekerasan verbal bukan hanya soal kata-kata kasar. Nada suara yang meninggi, pilihan diksi yang merendahkan, sindiran yang menusuk, atau ekspresi yang mempermalukan di hadapan orang lain, semuanya termasuk bentuk kekerasan verbal.
Dampaknya mungkin tidak meninggalkan luka fisik, tetapi membekas dalam batin.
Dalam konteks kerja, antara atasan dan bawahan, kekerasan verbal dapat merusak kepercayaan diri, menurunkan motivasi, dan mematikan kreativitas.
Karyawan yang sering menerima bentakan atau hardikan cenderung memilih diam. Mereka enggan bertanya, takut dianggap bodoh, atau khawatir akan kembali dipermalukan.
Akibatnya, potensi kesalahan justru semakin besar karena komunikasi tidak berjalan dua arah. Organisasi pun kehilangan kesempatan untuk berkembang karena gagasan-gagasan segar terpendam oleh rasa takut.
Kekerasan verbal terhadap mitra kerja, bukan sekadar pelaksana tugas, tetapi rekan yang perlu dihargai.
Kekerasan verbal merusak relasi profesional dan menggantinya dengan relasi hubungan kerja menjadi kaku, dingin, dan penuh jarak emosional.
Lebih jauh lagi, kekerasan verbal sesungguhnya adalah benih awal dari kekerasan fisik. Kata-kata yang dilontarkan dengan amarah, nada yang merendahkan, serta sikap ingin mendominasi bukan sekadar melukai perasaan, tetapi perlahan mengikis batas-batas kemanusiaan.
Saat seseorang diperlakukan dengan hinaan atau hardikan, harga diri tertekan dan emosi terakumulasi.
Di sisi lain, pelaku kekerasan verbal pun terbiasa mengekspresikan kuasa melalui agresi bahasa, sehingga kekerasan menjadi sesuatu yang dinormalisasi.
Ketika kata-kata tidak lagi mampu membendung emosi yang memuncak, maka tindakan fisik sering kali menjadi pelampiasan berikutnya.
Banyak peristiwa pertikaian, perkelahian, bahkan tragedi kemanusiaan bermula dari komunikasi yang gagal, dari kata-kata yang tidak dijaga, dari adab yang diabaikan, hingga akhirnya akal sehat tersingkir oleh amarah.
Karena itu, membiarkan kekerasan verbal sama artinya dengan membuka jalan bagi kekerasan yang lebih nyata dan lebih berbahaya. Kekerasan verbal dapat membuat seseorang merasa kehilangan harga diri; martabat (dignity) dirinya terusik dan terluka.
Dengan menghormati dignity orang lain, sesungguhnya kita sedang menjaga kemanusiaan diri sendiri.
Adab dalam berkomunikasi bukanlah bentuk kelemahan. Sebaliknya, ia adalah cerminan kedewasaan dan kecerdasan emosional.
Orang yang mampu menyampaikan ketidaksetujuan tanpa menghina, mampu menegur tanpa merendahkan, dan mampu bertanya tanpa menyudutkan, adalah pribadi yang memahami makna martabat manusia.
Dalam budaya apa pun, budi bahasa selalu ditempatkan sebagai nilai luhur, karena melalui bahasalah manusia saling mengenali dan menghormati.
Sayangnya, dalam beberapa lingkungan kerja, hierarki sering disalahartikan sebagai legitimasi untuk bersikap kasar. Jabatan yang lebih tinggi dianggap memberi hak untuk membentak bawahan.
Padahal, kepemimpinan sejati justru diukur dari kemampuan mengelola emosi dan membangun komunikasi yang sehat.
Pemimpin yang baik bukanlah mereka yang paling ditakuti, melainkan yang paling dihormati. Rasa hormat tidak lahir dari teriakan, tetapi dari keteladanan.
Pertanyaan yang diajukan secara wajar seharusnya dipandang sebagai bentuk kepedulian, bukan perlawanan. Bertanya berarti ingin memahami, ingin memastikan, dan ingin berkontribusi dengan lebih baik.
Jika setiap pertanyaan dibalas dengan amarah, maka yang tumbuh adalah budaya diam. Budaya diam ini berbahaya, karena kesalahan dibiarkan berlalu tanpa koreksi, masalah kecil membesar tanpa solusi, dan organisasi berjalan di atas asumsi-asumsi rapuh.
Komunikasi yang bermartabat menuntut kesadaran bahwa setiap orang membawa latar belakang, pengalaman, dan sensitivitas yang berbeda.
Kata-kata yang bagi satu orang terdengar biasa, bisa jadi melukai orang lain. Oleh karena itu, empati menjadi fondasi utama. Sebelum berbicara, perlu ada jeda untuk berpikir: apakah kata-kata ini perlu, apakah cara penyampaiannya tepat, dan apakah tujuannya membangun atau sekadar melampiaskan emosi.
Dalam praktik sehari-hari, menjaga adab berbahasa tidak berarti menghindari ketegasan. Tegas dan kasar adalah dua hal yang berbeda. Ketegasan berangkat dari kejelasan tujuan dan argumentasi yang logis, sementara kekasaran lahir dari emosi yang tidak terkelola.
Seseorang dapat menyampaikan kritik yang tajam tanpa harus meninggikan suara atau merendahkan lawan bicara.
Justru kritik yang disampaikan dengan bahasa yang baik lebih mudah diterima dan dipahami.
Organisasi yang sehat adalah organisasi yang secara sadar membangun budaya komunikasi yang beradab.
Hal ini dapat dimulai dari aturan sederhana: saling menghormati dalam berbicara, tidak memotong pembicaraan, menghindari kata-kata merendahkan, dan menyelesaikan perbedaan secara profesional.
Pelatihan komunikasi dan manajemen emosi juga menjadi investasi penting, bukan sekadar formalitas.
Di sisi lain, individu pun memiliki tanggung jawab personal. Setiap orang perlu belajar mengenali emosinya sendiri. Tekanan kerja, target yang tinggi, dan masalah pribadi memang dapat memicu stres.
Namun, stres bukan pembenaran untuk melukai orang lain dengan kata-kata. Mengelola emosi adalah bagian dari profesionalisme. Ketika emosi mulai memuncak, menunda respons sering kali lebih bijak daripada langsung bereaksi.
Tidak kalah penting, keberanian untuk bersuara juga perlu dibangun. Kekerasan verbal sering bertahan karena dianggap wajar atau dibiarkan.
Budaya saling mengingatkan dengan cara yang baik perlu ditumbuhkan. Bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk menjaga agar komunikasi tetap berada di rel yang bermartabat.
Dalam jangka panjang, keberanian ini akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan manusiawi.
Komunikasi yang kehilangan martabat pada akhirnya merugikan semua pihak. Pelaku mungkin merasa berkuasa sesaat, tetapi kehilangan kepercayaan dan respek.
Korban mungkin memilih diam, tetapi memendam luka dan kekecewaan. Organisasi mungkin tetap berjalan, tetapi dengan fondasi rapuh yang sewaktu-waktu dapat runtuh.
Sebaliknya, komunikasi yang dijaga dengan adab dan budi bahasa akan melahirkan rasa aman, saling percaya, dan semangat kolaborasi.
Pada akhirnya, bahasa adalah cermin jiwa. Cara seseorang berbicara mencerminkan cara ia memandang orang lain. Di ruang kerja, di mana beragam karakter dan kepentingan bertemu, menjaga martabat dalam komunikasi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Dengan adab dan budi bahasa, perbedaan dapat dirawat, konflik dapat dikelola, dan tujuan bersama dapat dicapai tanpa harus mengorbankan kemanusiaan.
Ketika komunikasi kembali pada martabatnya, ruang kerja tidak lagi menjadi medan pertarungan ego, melainkan ruang tumbuh bersama. Di sanalah profesionalisme menemukan maknanya yang sejati. (fsy).














