Oleh : Febri Satria Yazid
Perubahan iklim bukan lagi wacana abstrak yang hanya dibahas dalam konferensi Internasional. Ia telah menjadi realitas sehari-hari yang kita rasakan melalui cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, gagal panen, hingga meningkatnya penyakit berbasis lingkungan.
Situasi ini mengingatkan kita bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan ilmiah atau teknis, tetapi juga persoalan nilai, etika, dan spiritualitas manusia dalam memperlakukan bumi.
Dalam konteks inilah muncul sebuah pendekatan yang semakin sering dibicarakan yaitu ekoteologi. Pendekatan ini menghubungkan ajaran agama, nilai spiritual, dan moralitas dengan isu-isu lingkungan serta ketahanan iklim.
Ia menawarkan cara pandang baru bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas ekologis, melainkan juga mandat moral yang memiliki akar spiritual mendalam.
Ekoteologi merupakan jembatan antara iman dan lingkungan. Ekoteologi berasal dari dua kata: “eko” yang berarti rumah atau lingkungan, dan “teologi” yang berkaitan dengan pemahaman terhadap Tuhan dan nilai-nilai transendental.
Ekoteologi melihat bumi bukan sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari ciptaan yang memiliki nilai intrinsik dan harus dihormati.
Dalam hampir semua ajaran agama, alam digambarkan sebagai tanda kekuasaan Tuhan, cerminan kebesaran Ilahi, atau ruang spiritual di mana manusia dapat belajar tentang kebijaksanaan, kesabaran, dan keseimbangan.
Air dipandang sebagai sumber kehidupan yang suci; gunung sebagai simbol keteguhan serta tumbuhan dan hewan sebagai bagian dari satu ekosistem yang saling bergantung.
Dari perspektif ini, merusak alam berarti merusak harmoni ciptaan. Sementara merawat alam adalah bentuk pengabdian, rasa syukur, dan penghormatan kepada Sang Pencipta.
Nilai spiritual ini menjadi dasar kuat bagi gerakan pelestarian lingkungan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Terjadinya krisis iklim salah satu penyebabnya adalah terjadinya krisis etika dan kesadaran. Seringkali kita menganggap perubahan iklim sebagai persoalan teknologi atau data: naiknya suhu global, meningkatnya emisi gas rumah kaca, atau berkurangnya keanekaragaman hayati.
Namun di balik angka dan grafik itu, sebenarnya terdapat persoalan moral yang tak kalah pentingnya. Krisis iklim terjadi karena serangkaian perilaku manusia: keserakahan, eksploitasi berlebihan, gaya hidup konsumtif, dan sikap acuh tak acuh terhadap batas-batas ekologis bumi.
Ketika hutan ditebang tanpa kendali, sungai tercemar oleh limbah, udara penuh polusi, dan laut dipenuhi plastik, sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan krisis etika.
Krisis iklim menunjukkan adanya ketidakseimbangan hubungan antara manusia dan alam, serta ketidakharmonisan antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan kelestarian jangka panjang. Ia mencerminkan hilangnya kesadaran bahwa manusia hanyalah sebagian kecil dari ekosistem besar yang harus dijaga bersama.
Inilah mengapa ekoteologi penting yang mengingatkan bahwa krisis lingkungan tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan dan teknologi, tetapi juga membutuhkan pemulihan nilai, moral, dan spiritualitas manusia.
Keberlanjutan sering dipahami sebagai pengelolaan sumber daya alam agar dapat digunakan dalam jangka panjang. Namun jika ditinjau melalui lensa ekoteologi, keberlanjutan bukan hanya strategi lingkungan, tetapi juga panggilan moral.
Beberapa alasan mengapa keberlanjutan harus dipahami sebagai mandat moral dan spiritual bahwa Bumi merupakan amanah.
Dalam tradisi moral manapun, amanah adalah sesuatu yang harus dijaga.
Bumi bukan milik individu atau generasi tertentu, melainkan titipan bagi semua makhluk, termasuk generasi yang belum lahir.
Merawat bumi berarti menjaga amanah besar yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Perusakan yang dilakukan di muka bumi, menimbulkan ketidakadilan, yang paling banyak dirasakan oleh mereka yang paling rentan yaitu masyarakat miskin, petani kecil, masyarakat pesisir, anak-anak, dan perempuan.
Ketika kita merusak lingkungan, kita sebenarnya sedang menciptakan ketidakadilan yang meluas. Oleh karena itu, pelestarian alam adalah bentuk solidaritas moral.
Banyak ajaran agama menekankan pentingnya keseimbangan, antara mengambil dan memberi, antara memanfaatkan dan melestarikan. Keberlanjutan adalah upaya menjaga keseimbangan itu agar kehidupan tetap berlangsung dengan harmonis.
Hal ini dapat dilakukan dengan gaya hidup sederhana yang merupakan ajaran utama spiritualitas.
Hampir semua tradisi spiritual mengajarkan kesederhanaan, menahan diri dari keserakahan, serta hidup dengan penuh rasa syukur.
Gaya hidup berkelanjutan sejalan dengan ajaran ini. Dengan demikian, keberlanjutan bukan hanya pilihan modern, tetapi nilai spiritual yang telah diajarkan sejak lama.
Ketahanan iklim merujuk pada kemampuan masyarakat untuk bertahan, beradaptasi, dan pulih dari dampak perubahan iklim.
Ketahanan ini tidak hanya dibangun melalui infrastruktur atau teknologi, tetapi juga melalui perubahan nilai dan perilaku.
Pendekatan ekoteologi memberikan kontribusi penting dalam memperkuat ketahanan iklim, antara lain melalui penguatan perilaku ekologis.
Nilai religius mampu menggerakkan tindakan nyata seperti pengurangan sampah, pelestarian air, penghematan energi, dan penanaman pohon.
Ketika tindakan ekologis dipahami sebagai ibadah atau perbuatan baik, masyarakat menjadi lebih termotivasi. Demikian juga dengan penguatan solidaritas sosial, karena ketahanan iklim membutuhkan kerja sama.
Komunitas-komunitas keagamaan sering memiliki jaringan sosial yang kuat, sehingga mampu menjadi pelopor gerakan lingkungan dan ,bantuan sosial saat terjadinya bencana.
Kebijakan lingkungan yang baik tidak hanya berbasis data ilmiah, tetapi juga pada nilai moral.
Ekoteologi mendorong pemimpin untuk berpikir jangka panjang dan mempertimbangkan kesejahteraan generasi mendatang.
Untuk menghadapi perubahan iklim, kita tidak cukup hanya memperbaiki kerusakan yang ada, tetapi juga perlu mengubah cara pandang kita terhadap alam.
Transformasi pola pikir untuk masa depan berkelanjutan diperlukan dari dominasi ke pengelolaan bijak dimana selama ini manusia cenderung berperilaku sebagai penguasa bumi.
Ekoteologi mengingatkan bahwa peran manusia adalah pengelola yang harus menjaga kelestarian alam. Gaya hidup konsumtif adalah salah satu penyebab utama krisis lingkungan.
Moderasi dan kesadaran konsumsi adalah bagian penting dari spiritualitas ekologis. Perubahan iklim hanya dapat diatasi bila setiap individu merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap bumi.
Transformasi ini tidak akan terjadi hanya dengan regulasi, tetapi melalui pendekatan nilai dan pendidikan moral.
Merawat bumi berarti menghormati kehidupan. Mencintai alam berarti mencintai masa depan. Dan menjaga lingkungan berarti melaksanakan mandat moral yang diwariskan pada setiap generasi.
Dalam menghadapi krisis iklim, kita membutuhkan ilmu pengetahuan, kebijakan publik, dan teknologi hijau.
Namun semua itu tidak akan cukup tanpa kesadaran moral dan spiritual yang menuntun manusia pada perilaku yang lebih bijaksana.
Ekoteologi mengajarkan bahwa merawat bumi adalah ibadah yang tak pernah selesai. Ia adalah panggilan kemanusiaan yang mempersatukan iman, etika, dan tindakan nyata.
Dengan semangat ini, kita dapat mewujudkan masa depan yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan, bukan hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.(fsy)






