Pada tanggal 2 Oktober, seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional.
Sejak UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, kain tradisional ini tak hanya menjadi kebanggan bangsa, tetapi juga symbol identitas yang menyatukan masyarakat dari Sabang sampai Merauke.
Namun, ditengah derasnya arus globalisasi dan tren mode modern, muncul sebuah pertanyaan: “Bagaimana generasi muda berperan dalam menjaga dan mempertahankan sekaligus menghidupkan batik di era yang semakin modern ini?”
Batik dan Generasi Z: Dari Tradisi ke Lifestyle
Penelitian syifa mahala Adjani (2023) dari Institut Teknologi Bandung menunjukan bahwa batik kini tidak hanya dilihat sebagai pakaian formal melainkan juga bagian dari gaya hidup.
Generasi Z misalnya, melihat batik sebagai identitas sekaligus sarana ekspresi diri. Batik dipadukan dengan busana kasual, streetwear, bahkan aksesori seperti sepatu, tote bag dan hoodie.
Tantangan Generasi Muda Untuk Menjaga Nilai Filosofis Batik
Meski popularitas batik meningkat, riset dari Universitas Negeri Semarang (2021) menemukan bahwa pemahaman generasi muda terhadap motif batik klasik masih rendah.
Banyak anak muda mengenal batik hanya dari motif modern, tanpa memahami makna filosofis dibalik motif parang, kawung, atau mega mendung.
Disinilah tantangan muncul: bagaimana menjaga nilai budaya, tanpa mengorbankan kreativitas dan inovasi.
Inovasi dan Regenerasi: Kisah dari Daerah
Banyak upaya dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap batik, di antaranya:
Kampung Batik Laweyan, Surakarta
Penelitian Puspitasari, Trinugraha, & Parahita (2024) menegaskan bahwa pengrajin Laweyan membangun regenerasi dengan melibatkan anak muda dalam produksi, pemasaran, hingga promosi melalui media sosial.
Modal sosial dan jaringan komunitas menjadi kunci keberlangsungan tradisi.
Desa Sukalaksana, Garut
Studi Soemaryani dkk. (2024) menunjukkan bagaimana generasi muda di Garut dilibatkan dalam pelatihan batik shibori dengan teknik pewarnaan alami.
Program ini tidak hanya melestarikan batik, tetapi juga membuka peluang wirausaha.
Program Sekolah dan Komunitas
Farie dkk. (2023) dari Universitas Islam Batik Surakarta melaporkan bahwa edukasi batik ke SMK dan SMA berhasil meningkatkan pemahaman siswa sekaligus menumbuhkan kecintaan pada batik sejak dini.
Batik Menembus Dunia: Kisah Cathlea Kim
Salah satu bukti bahwa generasi muda bisa membawa batik ke kancah global datang dari Cathlea Mahardiestya, pendiri brand Halo Bali di Korea Selatan.
Menurut laporan Parapuan (2022), dengan sentuhan desain modern, ia mengolah batik dan tenun menjadi tote bag, outer, hingga dekorasi interior.
Produk Halo Bali diterima pasar internasional, menunjukkan bahwa batik bisa menjadi bagian dari gaya hidup global jika dikemas dengan kreatif.
Generasi muda saat ini memegang peran penting dalam menentukan arah masa depan batik. Mereka bukan hanya pewaris tetapi juga innovator yang membawa batik lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari bahkan hingga menembus pasar dunia.
Memakai batik bukan hanya sekedar mengenakan kain yang indah, tetapi itu adalah sebuah bentuk kecintaan pada identitas bangsa.
Di tangan generasi muda, batik tidak akan pudar dan terus menerus hidup sebagai symbol budaya yang dinamis dan relevan sepanjang masa.
Oleh: Lulu Raudatul Aisi
Jurusan Desain komunikasi visual