Setiap 17 Agustus, kita selalu diingatkan pada satu kata sakral “kemerdekaan.” Kita mengenang para pahlawan yang berjuang dengan darah dan air mata demi sebuah ruang hidup yang bebas dari penjajahan. Namun, pernahkah kita merenungkan bahwa semangat kemerdekaan itu tidak hanya milik bangsa di medan pertempuran, melainkan juga milik setiap rumah di mana keluarga tumbuh dan berkembang?
Kemerdekaan bangsa lahir dari keberanian untuk berkata, “Kami ingin bebas menentukan masa depan kami sendiri.” Semangat inilah yang seharusnya hidup di ruang-ruang keluarga. Karena sejatinya, rumah adalah “proklamasi pertama” yang dirasakan seorang anak sebagai tempat ia belajar tentang cinta, menerima dirinya, dan berani bermimpi.
Seorang anak tidak membutuhkan rumah yang mewah untuk merasa merdeka. Ia hanya membutuhkan ruang aman, tempat di mana ia bisa tertawa tanpa takut dihakimi, menangis tanpa dianggap lemah, dan mengutarakan pendapat tanpa dibungkam. Keluarga yang memberikan ruang aman sama seperti bangsa yang memberi warganya kebebasan. “kebebasan untuk tumbuh, berkembang, dan menemukan jati diri.”
Na’as, banyak keluarga yang tanpa sadar mencabut kemerdekaan anak-anak mereka. Kata-kata yang membandingkan, harapan yang terlalu tinggi, hingga aturan yang kaku sering kali membuat anak merasa hidup dalam “penjajahan” baru. Padahal, merdeka berarti memberi kepercayaan bahwa setiap anggota keluarga berhak menjadi dirinya sendiri.
Kemerdekaan di ruang keluarga juga berarti melepaskan diri dari rantai luka lama. Orang tua yang pernah tumbuh dalam pola asuh keras, misalnya, sering kali tanpa sadar mewariskan pola itu kepada anaknya. Di sinilah dibutuhkan keberanian. keberanian untuk memutus lingkaran trauma, sama seperti bangsa yang berjuang memutus rantai penjajahan. keluarga pun bisa berjuang untuk membebaskan diri dari pola yang menyakitkan.
Anak yang tumbuh di ruang keluarga yang merdeka akan berani mencoba, tidak takut gagal, dan mampu menghargai perbedaan. Ia belajar bahwa rumah adalah tempat ia selalu bisa pulang, apa pun yang terjadi. Dan bukankah itu inti dari kemerdekaan? Kebebasan untuk menjadi diri sendiri, dengan keyakinan bahwa selalu ada cinta yang menerima tanpa syarat.
Merayakan hari kemerdekaan tidak selalu harus dengan lomba dan bendera semata. Kita bisa merayakannya dengan hal-hal kecil di rumah seperti mendengarkan cerita anak tanpa menginterupsi, memberi ruang kepada pasangan untuk beristirahat setelah lelah berkerja, menghargai perbedaan pendapat dalam keluarga, dan menyampaikan kasih sayang buakan hanya lewat kata tapi juga pelukan.
Setiap langkah kecil ini adalah bentuk “proklamasi” baru. pernyataan bahwa keluarga kita ingin hidup dalam kebebasan, dalam kasih, dan dalam rasa saling menghargai.
“Jika proklamasi kemerdekaan 1945 memberi bangsa Indonesia kebebasan untuk menentukan nasibnya, maka proklamasi di ruang keluarga harus memberi ruang kebebasan untuk tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut.”
Selamat Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80.
Penulis: Fardhan Al-Ghifari