Ada satu bahasa yang sebenarnya tidak pernah membutuhkan kata-kata. Bahasa yang mampu menenangkan hati paling gelisah, menguatkan jiwa yang rapuh, dan menyalakan kembali rasa cinta yang hampir padam. Bahasa itu bernama pelukan.
Namun, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, pelukan sering kali berubah menjadi bahasa asing. Dalam keluarga yang sibuk berlari mengejar waktu, pelukan semakin jarang singgah. Orang tua terlalu lelah setelah bekerja seharian, anak-anak lebih sibuk menatap layar daripada menatap mata orangtuanya, dan akhirnya, jarak pun lahir dari keheningan.
Pelukan bukan sekadar menyatukan tubuh, tetapi menyatukan hati. Ia adalah isyarat sederhana bahwa kita ada untuk satu sama lain. Saat seorang anak menangis karena semestanya terasa kejam, pelukan orangtua bisa lebih menenangkan dibanding seribu nasihat. Saat seorang ayah pulang dengan bahu yang letih, pelukan anak bisa menjadi obat paling ampuh yang tak dijual di apotek mana pun.
Namun kini, berapa banyak dari kita yang masih memeluk orang-orang yang kita cintai? Berapa banyak dari kita yang memilih mengirim pesan singkat “hati-hati ya” ketimbang menyambut dengan pelukan hangat di depan pintu? Kita mulai lupa bahwa cinta bukan hanya untuk dikatakan, tetapi untuk dinyatakan.
Pelukan adalah bahasa keintiman yang menegaskan keberadaan kita di dalam kehidupan orang lain. Ia membuat seseorang merasa “aku tidak sendirian.” Sayangnya, banyak keluarga yang kini terjebak pada formalitas, hidup serumah tapi jarang benar-benar hadir. Kita ada, tapi sering kali tidak benar-benar bersama.
Di balik raga yang semakin dewasa, ada anak kecil dalam diri kita yang masih mendambakan pelukan. Kita semua, tanpa terkecuali, pernah merindukan rasa aman itu. Hanya saja, seiring waktu, kita belajar menutupi kerinduan tersebut dengan kesibukan, gengsi, atau bahkan keheningan.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti sejenak. Menaruh gawai, menyingkirkan jarak, dan memeluk kembali mereka yang kita sayangi. Sebab pada akhirnya, bukan kata-kata indah atau barang mahal yang paling kita rindukan, tetapi pelukan sederhana yang membuat hati merasa pulang.
Karena ketika pelukan menjadi bahasa yang dilupakan, sesungguhnya yang hilang bukan hanya kebiasaan, melainkan kehangatan keluarga itu sendiri.
“Mungkin setelah membaca ini, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri, “kapan terakhir kali kita memeluk orang yang kita cintai?” Jangan menunggu ada perpisahan, jangan menunggu ada kehilangan, baru kita sadar bahwa pelukan adalah bahasa cinta paling sederhana namun paling berharga. Hari ini, pulanglah, dekati orang tua, pasangan, atau anak-anakmu, lalu peluklah mereka dengan sepenuh hati. Biarkan mereka tahu bahwa kita masih ada, kita masih peduli, dan kita masih menyayangi. Sebab, hidup terlalu singkat untuk membiarkan pelukan hanya menjadi bahasa yang dilupakan.”
Penulis: Fardhan Al-Ghifari