Dalam dinamika kehidupan keluarga, sering kali muncul anggapan tak tertulis yang diwariskan turun-temurun “Anak adalah investasi dan orangtua adalah tabungan.” Ungkapan ini mungkin terdengar seperti sekadar metafora, namun dalam praktiknya, cara berpikir semacam ini bisa melahirkan hubungan yang penuh tekanan, ekspektasi berlebihan, dan beban emosional yang tidak sehat bagi kedua belah pihak.
Banyak orangtua, terutama dimasa lalu, memandang anak sebagai “jaminan masa depan” seseorang yang kelak akan merawat, membiayai, dan membalas jasa mereka ketika tua. Pandangan ini lahir dari kondisi sosial dan ekonomi saat jaminan pensiun belum ada, biaya hidup semakin tinggi, dan keluarga menjadi satu-satunya sumber dukungan.
Namun di era modern, pendekatan ini berisiko menempatkan anak pada posisi “beban moral” yang terlalu besar. Anak bukanlah proyek investasi yang harus memberi “imbal hasil” sesuai modal yang telah ditanamkan orangtua. Mereka adalah individu dengan kehidupan, cita-cita, dan pilihan mereka sendiri.
Begitu pula sebaliknya, menganggap orangtua sebagai “tabungan” tempat untuk meminta bantuan finansial tanpa batas dapat membuat hubungan keluarga terjebak dalam pola ketergantungan yang tidak sehat. Orangtua pun berhak menikmati masa tuanya tanpa terus-menerus terbebani masalah finansial anaknya.
Saat hubungan dibangun atas dasar “balas budi” atau “pemberian kembali”, kasih sayang dapat terkikis. Hubungan menjadi transaksional, setiap bantuan atau pengorbanan menjadi hitung-hitungan.
Anak merasa bersalah jika tak mampu memenuhi harapan orangtua, sementara orangtua merasa kecewa jika anak tak memberi imbalan yang diharapkan. Disinilah emosional dan mental diacuhkan. Anak yang dibesarkan dengan ekspektasi “membalas” cenderung mengorbankan kebahagiaan dan tujuan pribadinya demi memenuhi tuntutan keluarga. Padahal paradigma tersebut menggangu perkembangan seseorang.
Orangtua membesarkan anak bukan karena berharap balasan materi, melainkan karena cinta. Begitu pula anak, menghormati dan menyayangi orangtua tanpa merasa itu adalah “hutang” yang harus dilunasi. Na’as, meraka fokus pada cinta tanpa syarat.
Hubungan keluarga seharusnya dibangun atas dasar kasih sayang, saling menghormati, dan dukungan yang tulus, bukan semata pertukaran manfaat. Anak bukanlah investasi yang harus memberi keuntungan dimasa depan, dan orangtua bukanlah tabungan yang bisa diambil sewaktu-waktu.
“Kita semua adalah manusia dengan jalan hidup masing-masing. Ketika cinta dan kepedulian menjadi landasan, hubungan keluarga akan tumbuh lebih hangat, sehat, dan saling melengkapi”.
Penulis: Fardhan Al-Ghifari