dibalik perbukitan hijau yang memagari selatan Garut, tersembunyi sebuah tempat yang seolah beku dalam waktu. Jauh dari hiruk pikuk modernisasi, tempat ini bernama Kampung Dukuh. Tidak ada tiang listrik, tidak ada internet, yang ada hanya suara burung dan gemercik air.
Jalanan yang terbuat dari batu membimbing kita menuju pusat kampung. Di sana, deretan rumah panggung dengan arsitektur seragam menyambut hangat. Semua rumahnya dibangun dari bahan alam bambu sebagai dinding, kayu sebagai tiang, dan ijuk sebagai atapnya. Semuanya menghadap ke satu arah, mencerminkan ketaatan pada ajaran leluhur yang telah berakar kuat.
Kehidupan di Kampung Dukuh diatur oleh aturan adat yang ketat namun penuh makna. Mereka menolak listrik dan teknologi modern bukan karena tidak mampu, melainkan karena keyakinan. Warga meyakini bahwa teknologi dapat merusak harmoni dan nilai luhur yang mereka jaga. Malam di sana adalah lukisan yang menakjubkan, langit gelap gulita bertabur bintang, sementara cahaya lampu cempor dari jendela-jendela rumah menciptakan kehangatan.
Masyarakatnya hidup sederhana, menggantungkan hidup sepenuhnya pada alam. Bertani dan beternak menjadi sandaran utama, yang mereka lakukan dengan cara-cara tradisional. Mereka menghormati alam, bukan mengeksploitasinya.
Mengunjungi Kampung Dukuh adalah sebuah perjalanan spiritual. Kita tidak hanya melihat sebuah desa, tetapi juga menyaksikan sebuah filosofi hidup yang masih utuh. Di tengah dunia yang berlomba-lomba mengejar kemajuan, Kampung Dukuh memilih jalan yang berbeda. Mereka mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam kesederhanaan, dalam harmoni dengan alam, dan dalam ketaatan pada nilai-nilai yang telah lama kita lupakan.