Tidak semua anak memiliki rumah yang penuh tawa dan pelukan. Ada yang tumbuh besar didalam sunyi, tanpa panggilan hangat dari ruang tamu, tanpa suara langkah yang menandakan “ada yang menunggumu di rumah.”
Bagi anak yang hidup sebatang kara, rumah kadang hanyalah bangunan, bukan tempat pulang. Dinding-dindingnya dingin, meja makan tak pernah terisi piring berjejer, dan tempat tidur hanyalah ranjang tanpa suara “selamat tidur” dari siapapun.
Sepi itu terasa lain. bukan sekadar hening, tapi seperti kosong yang menelan. Saat sakit, tidak ada yang mengantarkan segelas air. Saat berhasil, tidak ada yang bertepuk tangan. Bahkan saat hati remuk, tidak ada bahu untuk bersandar.
Namun, meski hidup sendirian, bukan berarti tidak bisa menemukan arti “keluarga.” Kadang keluarga ditemukan diluar ikatan darah, diwajah sahabat yang selalu mendengar, ditetangga yang memberi sepiring makan, atau diguru yang percaya pada mimpimu. Mereka adalah orang-orang yang tanpa sadar menyalakan lilin kecil digelapnya dunia yang kau jalani.
Kehilangan ditengah kehadiran adalah luka yang diam-diam mengajarkanmu bertahan. Tapi bertahan tidak berarti harus terus merasa sendirian. Kau bisa menciptakan ruang kehangatan sendiri, membangun rumah dari hubungan yang tulus, dari orang-orang yang memilih untuk hadir, meski tak pernah diwajibkan.
Karena pada akhirnya, keluarga sejati bukan hanya tentang mereka yang tinggal dibawah atap yang sama, tapi mereka yang membuatmu merasa, “Aku tidak lagi sendirian.”
Semesta tahu hari-harimu tidak mudah. Semesta tahu bagaimana rasanya membuka pintu rumah dan hanya mendapati keheningan. Semesta tahu bagaimana sepi bisa terasa lebih berat daripada beban di punggungmu.
Kamu adalah bukti bahwa seseorang bisa berdiri, meski tak ada tangan yang memapah. Kamu tumbuh, meski tidak ada yang menuntun. Kamu bernapas, meski sering merasa dunia melupakanmu.
Hidup sebatang kara bukan berarti hatimu kosong. Justru disanalah, kekuatanmu sedang ditempa. Kau belajar membaca dunia dengan matamu sendiri. Kau belajar merawat lukamu tanpa harus mengemis perhatian. Kau belajar bahwa arti pulang bisa kau ciptakan dimanapun, selama ada cahaya dalam hatimu.
Jangan biarkan kesepian membuatmu percaya bahwa kamu tidak berharga. Ingat, keberadaanmu sendiri sudah menjadi alasan bagi dunia ini untuk sedikit lebih indah. Suatu hari nanti, kau akan bertemu orang-orang yang memanggilmu “keluarga” tanpa memandang darah atau garis keturunan. Mereka akan memelukmu, bukan karena kewajiban, tapi karena perasaan yang tulus.
“Sampai hari itu datang, tetaplah berjalan. Tetaplah hidup. Tetaplah percaya. Kamu tidak sendirian, tanpa kau sadari ada jiwa yang diam-diam mendoakanmu.”
Penulis: Fardhan Al-Ghifari