Oleh: Rio Pale
Pada akhir Januari—tepatnya tanggal 19—dunia sempat menyambut kabar gencatan senjata. Sekilas, tampak menenangkan. Sekilas, seolah ada harapan. Tapi sesungguhnya, itu hanya jeda yang semu.
Proposal gencatan senjata itu disusun oleh Presiden Joe Biden pada Mei 2024. Tapi baru diangkat kembali dan ditekan untuk dilaksanakan pada Januari, setelah tekanan internasional dan desakan dari berbagai pihak.
Namun, di balik jeda yang diberi nama “gencatan senjata” itu, kenyataannya sangat getir: 150 jiwa tetap gugur.
Jadi, gencatan senjata? Aman? Jauh dari itu.
Yang banyak tidak disadari adalah: saat gempuran di Jalur Gaza tampak mereda, agresi justru berpindah. Penindasan berpindah ke wilayah lain yang juga dihuni warga Palestina—seperti Jenin, Nablus, dan Tulkarem.
Mungkin sebagian dari kita sudah akrab dengan istilah “Jalur Gaza”—wilayah yang sejak 2007 dikendalikan oleh kelompok perjuangan Hamas, dan berada di bawah blokade ketat. Tapi ada juga wilayah lain: Tepi Barat, yang dipimpin oleh Otoritas Palestina.
Selama dunia sibuk membicarakan Gaza, derita di Tepi Barat seakan dilupakan. Padahal luka dan darah di sana sama merahnya, sama perihnya.
Begitulah potret ironis dari konflik ini. Saat dunia bersorak menyambut “gencatan senjata”, di tempat lain senjata tetap menyala. Karena pada kenyataannya, bukan kedamaian yang diupayakan, melainkan hanya pergeseran panggung penderitaan.