Harmonionline.net-Laut yang indah hampir di mata setiap orang tentunya hanya sekadar untuk berlibur, menikmati senja. Gelora gelombang telah lekat dengan hidup dan kehidupan warga pesisir. Meski gulungan ombaknya bengis tetap tak pernah ingkar menawarkan kesenangan. Di laut orang bisa mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari bagi pribadi atau keluarganya. Bukan hanya ada kesenangan dan keindahan saja ketika diatas laut. Tentunya banyak menyimpan luka ketika di atas mulai dari kekerasan fisik dan jam kerja yang tidak beraturan kerap dialami Zulham (24) dan Sefriansyah (22), seorang Anak Buah Kapal (ABK) yang berniat hati pergi berlayar untuk memenuhi hidup yang lebih layak namun nyatanya yang mereka dapat hanyalah berlayar diatas samudra penderitaan.
Pertemuan singkat bersama Zulham dan Sefriansyah ketika workshop yang diadakan oleh International Labour Organization pada 30-31 Mei 2022 di Semarang. Membahas terkait kerja paksa yang dihadiri oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), para Anak Buah Kapal (ABK) yang terdampak kerja paksa serta perwakilan mahasiswa dari Universitas Islam Bandung, Universitas Brawijaya dan Universitas Diponegoro. Zulham dan Sefriansyah merupakan salah seorang Anak Buah Kapal (ABK) yang terdampak kerja paksa yang hadir di workshop. Dengan penuh emosi dan haru mereka menceritakan bagaimana kerasnya hidup di atas kapal pada saat dia menjadi Anak Buah Kapal (ABK).
Mendapat informasi terkait pekerjaan dari saudara untuk menjadi anak buah kapal (ABK) Zulham harus menunggu selama sembilan bulan dan akhirnya bisa berangkat berlayar menuju Peru. Berharap bisa namun nyatanya hanya berlayar dalam ketidakpastian, Zulham hampir dua tahun lamanya terombang-ambing di atas kapal pencari cumi dan tidak pernah sama sekali bersandar, berharap bisa dipulangkan. Kerinduan terhadap keluarga kerap melintasi pikiran Pasalnya, Zulham tidak diperkenankan untuk berkomunikasi dengan pihak manning agency yang ada di Indonesia, bahkan untuk menelpon keluarga pun tidak bisa. Sempat melakukan aksi mogok kerja selama satu pekan, malah mendapatkan ancaman balik Zulham menirukan ucapkan dari kaptennya “Silahkan saja protes, toh gaji kalian tidak akan dibayar”, mau tidak mau Zulham dengan berat hati melanjutkan pekerjaannya.
“Setelah dua tahun bisa pulang lewat Argentina meski prosesnya cukup sulit dan sampai sekarang pun gaji tidak dibayar. Setalah pulang ke Indonesia saya protes ke pihak manning agency pun tidak bisa karena manning agency nya hilang” ucap Zulham
Hal serupa juga dialami oleh Sefriansyah (22) seorang pelajar lulusan sekolah maritim yang ditawarkan untuk bekerja dan langsung ke agensinya dan mengikuti pelatihan dan pembuatan paspor dan naik ke kapal operasi selama dua tahun. Tak disangka kaget dengan kenyataan yang ada kehidupan disana sangat tidak layak “Orang-orang baru itu keseringan disuruh oleh senior. Jam kerja juga non-stop hari hari dua malam”ucap Sefriansyah.
Setelah habis kontrak pun Sefriansyah tidak diperbolehkan untuk pulang kembali ke Indonesia dengan alasan Covid-19. Padahal, terdapat alternatif lainnya untuk dia pulang. Pihak manning agency menyebut bahwa Anak Buah Kapal (ABK) yang ingin pulang harus melakukan vaksin terlebih dahulu. Namun di sisi lain, pihak manning agency tidak memberikan fasilitas untuk melakukan vaksin bahkan tidak memberikan uang ataupun fasilitas yang layak. Hal inilah yang kemudian memicu adanya aksi yang dilakukan oleh pihak Anak Buah Kapal (ABK).
Kerinduannya kepada keluarga, menyulut tekad Sefriansyah menjalankan aksinya dengan mengumpulkan teman-teman seperjuangannya. “Kalau tidak bergerak, kita tidak bisa pulang,” kalimat yang ia gaungkan untuk mengembalikan harapan rekan-rekannya. Hari-hari berikutnya, Sefriansyah dan rekan-rekannya mulai melawan aturan dari agensi, berharap mendapat perhatian. Tidur di kantor agensi, membakar ban di depan gedung, dan membantah semua perintah, semua hal tersebut dilakukan demi satu tujuan, pulang.
Setelah sampainya di Indonesia hal serupa yang seperti Zulham alami Sefriansyah pun sama masalah gaji yang tidak sesuai. “Sesuai perjanjian kontrak sistem gaji ada yang di depositkan dan ada yang di bayar 3 bulan sekali setelah potongan tapi ada lagi jaminan ketika finish kontrak bisa dikeluarkan, namun nyatanya setelah sampai di Indonesia gaji itu belum dibayar.” Ujar Sefriansyah
Indikator kerja paksa terhadap buruh migran salah satunya Anak Buah Kapal (ABK) sudah sering terjadi ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk melakukan perlindungan terhadap buruh migran agar tidak jadi hal serupa yang dialami para perkerja migran yang hak-haknya tidak terpenuhi mulai dari membrantas agency-agency yang illegal serta membuat pelatihan khusus bagi para pekerja yang ingin bekerja di luar negeri.
Keberhasilan mereka untuk keluar dari “penjara” kapal bukan akhir dari perjuangan melawan ketidakadilan yang mereka dapatkan namun menjadi langkah awal untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang belum terpenuhi melalui jalur advokasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Melihat laut bukan hanya sudut padang secara lingkungan dan keindahan di lautnya saja, tetapi juga penting untuk memberikan pandangan lain mengenai orang-orang yang berkecimbung dan mencari nafkah di laut, misalnya seperti nelayan dan Anak Buah Kapal (ABK) ataupun berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan kemaritiman. (Penulis : Nugraha Alif Akbar, Mahasiswa Fikom Unisba)