Oleh: Febri Satria Yazid
Seribu tahun yang lalu, para pemikir pendidikan Islam telah memberikan peringatan yang amat tajam: “pendidikan tanpa akhlak adalah pembunuhan berencana terhadap kemanusiaan.”
Kalimat ini bukan sekadar ungkapan moral, tetapi refleksi mendalam tentang hakikat pendidikan dan arah peradaban manusia.
Pendidikan sejati bukan hanya menumpuk pengetahuan, melainkan membentuk manusia seutuhnya, yang berpikir jernih, berperilaku santun, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan.
Dalam pandangan Islam, pendidikan (tarbiyah) adalah proses menyeluruh yang menumbuhkan potensi jasmani, akal, dan ruhani manusia secara harmonis.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah sekadar kepandaian intelektual, tetapi pembentukan karakter yang berakhlak mulia.
Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih menekankan bahwa ilmu tanpa akhlak akan melahirkan kesombongan dan kehancuran moral.
Al-Ghazali bahkan mengingatkan, ilmu yang tidak disertai niat dan adab ibarat api tanpa kendali, ia bisa membakar tatanan kehidupan.
Maka, pendidikan yang hanya menekankan kecerdasan kognitif, tanpa dasar moral sejatinya sedang menyiapkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara etis.
Ketika pendidikan kehilangan ruh akhlak, yang lahir adalah manusia-manusia pandai namun tidak bijak, cerdas namun tidak berperikemanusiaan.
Fenomena korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan di sekolah, dan dekadensi moral di media sosial menjadi bukti nyata dari sistem pendidikan yang kehilangan arah.
Pengetahuan yang tidak diarahkan kepada kebaikan dapat berubah menjadi alat kezaliman. Seorang ahli teknologi bisa menciptakan sistem yang memudahkan kehidupan, tetapi tanpa akhlak, ia juga dapat menciptakan teknologi yang merusak tatanan sosial.
Seorang pemimpin dapat memegang kekuasaan besar, tetapi tanpa akhlak, kekuasaan itu menjadi senjata penindasan. Di sinilah letak yang disebut sebagai “pembunuhan berencana terhadap kemanusiaan.”
Ketika akhlak rusak, nilai kemanusiaan pun hancur dari dalam diri manusia. Pendidikan yang gagal menanamkan moral sejati telah membunuh esensi kemanusiaan secara perlahan dan terencana.
Pembentukan akhlak tidak dapat dilakukan secara instan. Ia harus ditanam sejak usia dini, pada masa ketika hati anak masih bening dan pikirannya mudah dibentuk.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi dari teladan. Maka, peran guru dan orang tua bukan sekadar pengajar, melainkan panutan moral.
Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kasih sayang, dan disiplin harus dihidupkan dalam keseharian, bukan hanya diajarkan lewat hafalan.
Sekolah dan lembaga pendidikan perlu membangun ekosistem yang menumbuhkan karakter: lingkungan yang penuh kasih, pembiasaan sopan santun, penghargaan terhadap kejujuran, dan penghormatan pada sesama.
Kurikulum pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Islam dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran agar anak tumbuh menjadi pribadi yang berilmu sekaligus beradab.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Shad [38] ayat 46: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.”
Ayat ini menggambarkan keagungan akhlak para hamba pilihan Allah, para nabi dan orang-orang saleh, yang disucikan bukan hanya secara lahiriah, tetapi juga secara batiniah. Kemurnian hati dan ketinggian akhlak lahir dari kesadaran yang mendalam akan kehidupan akhirat.
Penyucian yang dimaksud bukan sekadar pembersihan dari dosa, melainkan proses spiritual yang menumbuhkan kemurnian niat dan kebeningan hati.
Allah memilih dan membersihkan mereka dari segala sifat tercela, hingga yang tersisa hanyalah ketulusan untuk berbuat baik demi ridha-Nya.
Kebersihan jiwa itu melahirkan kepekaan spiritual yang tinggi, mereka selalu ingat kepada akhirat. Mereka tidak silau oleh gemerlap dunia karena pandangan mereka tertuju pada kehidupan abadi yang menjadi tujuan sejati manusia.
Ayat tersebut memberi pelajaran penting: akhlak yang tinggi bukanlah hasil pendidikan formal semata, melainkan buah dari kesadaran batin yang mendalam tentang tanggung jawab di hadapan Allah kelak.
Manusia yang selalu mengingat akhirat akan berhati-hati dalam tutur kata, jujur dalam bekerja, dan rendah hati dalam bergaul. Ia sadar bahwa setiap perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Inilah akar moralitas sejati, bukan karena takut pada sanksi sosial, tetapi karena takut pada murka Tuhan.
Semakin kuat kesadaran seseorang terhadap akhirat, semakin kuat pula dorongan untuk berakhlak mulia. Ia berbuat baik bukan untuk pujian, melainkan sebagai wujud ibadah dan tanggung jawab spiritual.
Dalam konteks pendidikan masa kini, pesan ayat ini sangat relevan. Ketika pendidikan hanya mengasah kecerdasan intelektual tanpa menumbuhkan kesadaran spiritual, manusia akan kehilangan arah.
Ia bisa sangat pandai, tetapi mudah tergoda oleh nafsu duniawi; ia bisa sukses, tetapi lalai terhadap tanggung jawab moralnya kepada sesama dan kepada Tuhannya.
Surah Shad ayat 46 menegaskan bahwa puncak pendidikan adalah penyucian jiwa untuk membentuk insan yang sadar akan nilai akhirat. Inilah hakikat pendidikan berkarakter Islami: membangun manusia yang bukan hanya pintar berpikir, tetapi juga tulus berbuat baik karena mengharap ridha Allah.
Pendidikan harus kembali menghidupkan kesadaran bahwa ilmu adalah amanah, dan akhlak adalah nafas yang menghidupkannya.
Untuk mewujudkan pendidikan berkarakter, semangat ayat ini perlu dihidupkan kembali. Nilai keikhlasan, kesucian hati, dan kesadaran akhirat harus ditanamkan sejak dini.
Anak-anak perlu dibimbing untuk mengenal Tuhan, memahami makna tanggung jawab, dan belajar menghargai kehidupan sebagai anugerah.
Guru, orang tua, dan masyarakat harus bersinergi membentuk lingkungan yang menumbuhkan nilai-nilai tersebut. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tugas sekolah, melainkan tugas kemanusiaan.
Hanya dengan hati yang bersih dan akhlak yang luhur, manusia dapat menjadi khalifah yang sejati di bumi, membawa ilmu, iman, dan kemanusiaan dalam satu napas pengabdian kepada Allah SWT.
Kini, setelah seribu tahun berlalu, pesan para pemikir Islam itu terasa kian relevan. Dunia modern, dengan segala kemajuannya, sering lupa pada nilai dasar kemanusiaan.
Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak “orang pintar”, tetapi “orang benar”, mereka yang memiliki ilmu sekaligus nurani.
Pendidikan tanpa akhlak ibarat tubuh tanpa jiwa: tampak cemerlang di luar, namun kosong di dalam. Hanya dengan mengembalikan ruh akhlak ke dalam sistem pendidikan, kita dapat menyelamatkan generasi dari kebutaan moral dan menghidupkan kembali peradaban yang beradab.
Sebab sesungguhnya, masa depan manusia tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi ia belajar, tetapi mesti disertai seberapa luhur ia berakhlak. (fsy).














