Oleh: Febri Satria Yazid
“Tidak usah menuntut rezeki esok pada hari ini, karena engkaupun tidak Aku tuntut untuk melaksanakan kewajiban esok pada hari ini. Hai hambaku, Aku mencintaimu, maka demi cintaKu kepadamu, cintai jugalah Aku.”
Kalimat ini bukan hadis, bukan pula ayat suci Al-quran, tetapi terasa seperti bisikan lembut dari langit hati. Ia mengandung getar cinta yang dalam. Sebuah ajakan untuk berhenti menuntut, mulai mempercayakan. Untuk berhenti menghitung hak, dan mulai menunaikan kewajiban dengan cinta. Sebab dalam setiap hembusan napas, ada kasih Allah yang tidak pernah menagih, hanya memberi tanpa batas.
Ungkapan ini lebih merupakan kata mutiara bernuansa sufistik (tasawuf), dengan gaya bahasa yang menggambarkan dialog antara Tuhan dan hamba-Nya, penuh makna cinta ilahiah (mahabbah ilahiyyah).
Menekankan kepasrahan, keikhlasan, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam cinta kepada Allah.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, manusia kerap terjebak dalam pola pikir menuntut. Setiap individu merasa berhak atas penghargaan, perhatian, dan kesejahteraan, namun sering lupa menunaikan kewajiban yang menjadi jalan menuju hak tersebut.
Kita menuntut keadilan, tetapi lalai berlaku adil. Kita ingin dihargai, namun enggan menghargai. Kita berharap doa terkabul, padahal ibadah sering tertunda oleh kesibukan dunia.
Fenomena ini terlihat di berbagai sisi kehidupan seperti di dunia kerja, banyak yang menuntut kenaikan gaji tanpa terlebih dahulu menunjukkan kinerja terbaik.
Dalam keluarga, seseorang ingin dipahami tanpa berusaha memahami. Dalam spiritualitas, manusia berharap rahmat Allah tanpa sungguh-sungguh menjemputnya dengan taubat dan amal saleh.
Padahal, rahmat Allah bukan sekadar hadiah yang turun tanpa sebab, melainkan anugerah yang dijemput dengan kesadaran dan usaha.
Taubat adalah langkah pertama menuju kasih sayang-Nya, tanda bahwa hati masih hidup dan ingin kembali. Sedangkan amal saleh adalah wujud nyata dari cinta dan ketaatan. Tanpa keduanya, harapan hanya tinggal harapan seperti doa kehilangan sayapnya dan cinta kepada Tuhan berhenti di bibir, bukan di hati.
Modernitas sering menumbuhkan ego dan perasaan “aku berhak”, seolah segala sesuatu harus sesuai kehendak pribadi. Padahal, hak sejati adalah buah dari kewajiban yang dijalankan dengan ikhlas.
Ketika manusia lebih sibuk menuntut daripada memperbaiki diri, maka ia kehilangan kedamaian batin, karena cinta, termasuk cinta kepada Tuhan, tak tumbuh di tanah yang penuh tuntutan.
Kalimat “Aku mencintaimu, maka demi cintaKu kepadamu, cintai jugalah Aku.”. seakan menjadi penyeimbang bagi zaman ini. Ia mengingatkan bahwa hubungan kita dengan Tuhan, sesama, maupun diri sendiri, harus dibangun di atas kesadaran memberi, bukan sekadar meminta.
Dalam dunia yang sibuk menagih perhatian, kalimat ini mengajarkan ketenangan bahwa cinta sejati, termasuk cinta kepada Sang Pencipta, adalah tentang keikhlasan dalam kewajiban, bukan kepentingan dalam hak.
Makna Filosofis di balik kalimat ; “Jangan menuntut hakmu untuk hari esok” adalah jangan terlalu cemas terhadap masa depan. Serahkan segalanya kepada takdir Allah yang Maha Mengatur.
Setiap rezeki, keberhasilan, dan kebahagiaan memiliki waktunya sendiri. Kegelisahan sering lahir karena manusia ingin mengatur sesuatu yang seharusnya menjadi urusan Tuhan.
“Aku juga tidak menuntut kewajiban esokmu hari ini. Allah tidak membebani manusia di luar kemampuan mereka, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini menegaskan kasih sayang Allah yang tak terbatas. Ia memahami keterbatasan manusia, memberi waktu untuk berbenah, dan selalu membuka pintu maaf.
“Aku mencintaimu, maka cintai jugalah Aku” , merupakan seruan lembut agar manusia membalas cinta Tuhan dengan ketaatan dan kesyukuran.
Cinta kepada Allah tidak ditunjukkan dengan kata-kata, melainkan dengan amal dan kesetiaan menjalankan perintah-Nya.
Cinta yang sejati selalu tampak dalam tindakan, bukan hanya dalam pengakuan.
Dalam Islam, cinta kepada Allah dikenal dengan istilah mahabbah fillah, cinta yang lahir dari pengenalan dan penghambaan kepada Sang Pencipta.
Cinta seperti ini tidak menuntut balasan, karena ia tumbuh dari kesadaran bahwa segala yang kita miliki berasal dari-Nya.
Ada dua jenis cinta yang dapat kita pelajari yaitu cinta yang menuntut dan cinta yang memberi. Cinta yang menuntut selalu ingin dibalas, menimbang dan menghitung. Sedangkan cinta yang memberi adalah cinta yang matang, ia mengalir tanpa pamrih, sebab kebahagiaannya terletak pada memberi, bukan menerima.
Hubungan manusia dengan Tuhan seharusnya berada pada tingkatan cinta yang memberi. Allah tidak pernah menjadikan hubungan dengan hamba-Nya sebagai transaksi.
Ia memberi tanpa menagih, mengampuni tanpa perhitungan, dan mencintai tanpa syarat. Dalam cinta yang demikian, hak dan kewajiban bukan lagi beban, melainkan bagian dari perjalanan menuju kedekatan ruhani.
Jika kita menengok kehidupan sehari-hari, banyak pelajaran yang dapat diambil. Dalam bekerja, sering kali orang ingin segera mendapatkan hasil, padahal proses adalah bagian dari pembentukan diri.
Dalam rumah tangga, pasangan menuntut perhatian dan kasih sayang, namun lupa menunaikan kewajiban saling menghormati.
Dalam ibadah, manusia ingin hidupnya dipermudah, tetapi masih enggan meluangkan waktu untuk sujud.
Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban membuat kehidupan kehilangan harmoni. Ketika seseorang menuntut hak tanpa menunaikan kewajiban, maka yang muncul bukan cinta, melainkan rasa kecewa dan ketidakpuasan.
Sebaliknya, ketika seseorang menunaikan kewajiban dengan tulus, hak akan datang dengan sendirinya, mungkin tidak seketika, tetapi selalu dengan cara terbaik.
Hidup ini bukan soal seberapa banyak kita menerima, melainkan seberapa dalam kita memberi dengan keikhlasan.
Dalam setiap kewajiban yang dijalankan, tersimpan berkah yang menenangkan jiwa. Dalam setiap hak yang kita sabar tunggu, tersimpan pelajaran tentang iman dan tawakal.
Dari renungan ini, ada beberapa pelajaran penting yang dapat menjadi cermin bagi kehidupan umat manusia yaitu jangan terburu menuntut hasil, melainkan fokuslah pada usaha hari ini, karena masa depan adalah rahasia Allah yang tidak bisa didesak waktunya.
Ibadah bukan sekadar kewajiban, tetapi wujud cinta yang mendalam kepada Sang Khalik. Hidup harus seimbang antara hak dan kewajiban. Hak akan datang dengan sendirinya ketika kewajiban dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Cinta sejati bukan menuntut, melainkan memberi. Dalam memberi, manusia menemukan makna tertinggi dari cinta, karena ia meniru sifat Allah yang Maha Pemberi.
Hidup bukan tentang menagih janji, tetapi tentang menepati amanah, bukan tentang menghitung apa yang kurang, melainkan mensyukuri apa yang sudah ada.
Ketika manusia berhenti menuntut dan mulai mencintai dengan kesadaran, maka hidup menjadi lebih tenang dan bermakna. “Cinta kepada Allah adalah perjalanan tanpa akhir, yang dimulai dari pengabdian, disertai kesabaran, dan berbuah ketenangan.” (fsy).
 
			 
					





