Oleh: Ayah Zayd
Ketua Komunitas Keluarga Cerdas
Pernikahan seorang anak laki – laki telah lama menjadi harapan terbesar bagi orang tua, termasuk seorang Ayah.
Pernikahan menjadi tanda transisi dari masa muda menuju kedewasaan yang diakui secara sosial.
Pernikahan menjadi tanda bahwa anak laki – laki dianggap telah dewasa karena berani mengambil tanggung jawab sosial atas anak perempuan orang lain.
Pernikahan di Indonesia bukan hanya urusan antara personal, tetapi sebuah kewajiban sosial yang erat kaitannya dengan kelanjutan keturunan, kehormatan keluarga, dan keseimbangan atau stabilitas masyarakat.
Di dalam Islam terdapat sebuah hadist yang redaksinya, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah lebih mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.
Sementara siapa saja yang tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Karena puasa bisa menjadi tameng syahwat baginya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Secara sederhana, ada anjuran bagi laki – laki untuk segera menikah ketika sudah dewasa dan pernikahan anak laki – laki menjadi harapan setiap orang tuanya.
Harapan itu ingin segera dilaksanakan oleh anak laki-lakinya ketika sudah dewasa.
Namun, zaman telah berubah. Dinamika sosial-ekonomi modern menuntut persiapan yang lebih matang dan kompleks.
Faktor-faktor seperti penyelesaian pendidikan tinggi, pencapaian stabilitas karier, kemandirian finansial, serta kematangan emosional dan mental menjadi pertimbangan utama bagi banyak anak laki – laki sebelum memutuskan untuk menikah. Pada titik inilah, sering kali terjadi kesenjangan antara ekspektasi orang tua dan realitas yang dihadapi oleh anak laki-laki mereka.
Orang tua, yang dibesarkan dengan nilai-nilai dan kondisi ekonomi yang berbeda, mungkin melihat pernikahan sebagai sebuah keniscayaan yang harus dipenuhi secepatnya.
Ketika melihat data dari databoks.katadata.co.id tentang Tren Pernikahan Anak Muda Semakin Turun 6 Tahun Terakhir.
BPS menyebut, dalam 10 tahun terakhir perkembangan persentase pemuda yang berstatus kawin dan belum kawin bertolak belakang.
Maksudnya, persentase pemuda yang berstatus kawin semakin menurun sedangkan pemuda yang belum kawin semakin meningkat.
BPS menyebut bahwa adanya faktor-faktor seperti keinginan mengejar kesuksesan dalam pendidikan dan karier, mengembangkan diri, dan berkurangnya tekanan dari lingkungan sosial mempengaruhi keputusan generasi muda untuk menunda pernikahan.
Bagaimana sikap orang tua yang mempunyai anak laki-laki yang sudah fresh graduate, usia sekitar 24 tahun, belum dapat pekerjaan, anaknya ingin menikah tapi belum ada kesiapan psikis dan mental.
Bahkan ada yang merasa dilema, bingung, depresi, dan lain-lain.
Ada beberapa sikap yang bisa dilakukan seorang Ayah ketika mempunyai anak seperti di atas, di antaranya :
1. Berikan waktu kepada anak untuk memutuskan sendiri tentang masa depannya, baik itu dalam hal karir, menikah, pendidikan dll. Setiap anak memiliki waktu yang berbeda untuk berada pada posisi tertentu.
2. Do’akan kepada Allah swt agar selalu membimbing anak di jalan Allah swt. Bukankah rezeki, maut, pasangan dan baik buruk amal sudah Allah swt tetapkan atas setiap manusia.
3. Berikan dia kesempatan mencoba pekerjaan apapun selama halal tanpa perlu kita memaksakan kehendak kita dia harus seperti apa.
Tugas kita hanya membantu mencari dan menyampaikan informasi loker atau usaha. Biarkan anak yang memutuskan mau kerja atau usaha.
Karena anak laki-laki di atas 15 tahun sudah diterapkan hukum aqil baligh. Ayah tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah seperti makan, pakaian dan rumah.
Jika Ayah masih memberikan hal itu, maka itu disebut sedekah kepada seorang yang belum mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhannya.
4. Ajak anak atau berikan informasi untuk bersilaturahim dengan saudara atau orang lain atau seminar untuk mendapatkan inspirasi pekerjaan atau usaha.
Bersilaturahmilah agar peluang rezeki semakin terbuka lebar.
5. Berikan informasi buku/ seminar / pertemuan apapun, bahwa menikah bukanlah beban walaupun ada tanggung jawab sebagai seorang suami.
Tapi menikah membuka pintu rezeki yang lain, setiap hambatan pernikahan adalah tantangan kehidupan yang harus diselesaikan oleh manusia.
6. Kesiapan mental dan psikis seorang laki-laki. Peran ini lebih banyak dipengaruhi oleh Ayah, bagaimana kedekatan antara ayah dengan anak? Ayah lebih banyak berperan dalam membentuk mental dan psikis seorang anak laki-laki.
Perbanyak diskusi antara anak dengan ayah dari hati ke hati seperti nabi Ayub dengan Anaknya, nabi ibrahim dengan anaknya.
Perbanyak jalan-jalan antara ayah dengan anak, makan bareng, kerja bersama agar mental dan psikis kelaki-lakian bisa tersampaikan ke anak laki-laki.
7. Sebagai seorang ibu, jadilah ruang yang aman untuk anak bercerita adilah ruang yang aman untuk anak bercerita tentang kehidupannya. Jangan terlalu banyak menghakimi atau berprasangka, cukup dengarkan dari hati ke hati, menjadi pendengar yang baik dan penyejuk hati anaknya.
Oleh karena itu, mari kita geser paradigma. Bagi para ayah, cobalah untuk mengganti pertanyaan “Kapan nikah?” dengan “Apa yang bisa kami bantu untuk persiapan masa depanmu?”. Bagi anak laki-laki yang merasa belum siap, mulailah percakapan jujur dengan orang tua tentang ambisi, tantangan, dan kriteria “siap” menurut versimu.
Komunikasi dua arah inilah kuncinya. Memang, membongkar ekspektasi yang telah mengakar bukanlah hal mudah, tetapi ini adalah investasi untuk keharmonisan keluarga dan kebahagiaan jangka panjang.
Marilah kita bersama-sama mewujudkan pemahaman bahwa kesuksesan sebuah pernikahan bukan diukur dari cepat atau lambatnya dimulai, tetapi dari kokohnya fondasi atau bekal ilmu yang dibangun sejak detik pertama komitmen itu diikrarkan.
Kemauan untuk terus belajar menjadi seorang suami, ayah, dan kepala keluarga yang terus intropeksi diri dan memperbaiki diri agar tercipta keluarga yang lebih baik daripada sebelumnya.













