Oleh: Febri Satria Yazid
Dalam lembaran sejarah para nabi, tersimpan kisah yang menggugah hati dan menggetarkan jiwa kisah Nabi Nuh dengan anaknya, Kan’an. Kisah ini bukan sekadar cerita tentang banjir besar yang menenggelamkan dunia, melainkan juga kisah duka seorang ayah yang tak kuasa menyelamatkan darah dagingnya sendiri.
Kisah itu mengajarkan bahwa mendidik anak bukan hanya kewajiban, melainkan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan memerlukan kesabaran.
Nabi Nuh, seorang rasul yang diutus dengan mukjizat dan ketabahan luar biasa, tetap harus merasakan pedihnya hati saat menyaksikan anaknya sendiri menolak seruan kebenaran.
Bila seorang nabi yang dijamin kesalehannya pun menghadapi peristiwa seberat itu, maka betapa besar tantangan yang dihadapi orang tua masa kini di tengah badai arus digital, derasnya pergaulan bebas, dan gemerlap godaan dunia yang mengikis nilai moral dan spiritual.
Melalui Al-Qur’an, Allah mengabadikan peristiwa itu sebagai pelajaran bagi umat manusia sepanjang masa.
Dikisahkan bahwa ketika banjir besar datang, Nabi Nuh memanggil anaknya dengan penuh kasih dan harap: “Hai anakku, naiklah bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (QS. Hud: 42).
Namun Kan’an menjawab dengan kesombongan dan keyakinan pada kekuatan duniawi: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah.” (QS. Hud: 43)
Hati seorang ayah tentu bergetar. Dalam gemuruh air bah dan kepanikan manusia, Nabi Nuh masih berusaha menasihati anaknya: “Tidak ada yang dapat melindungimu pada hari ini, selain orang yang diberi rahmat oleh-Nya.”
Namun gelombang besar pun datang, memisahkan keduanya. Dalam sekejap, Kan’an tenggelam bersama orang-orang yang ingkar, sementara bahtera Nabi Nuh berlayar menyelamatkan orang-orang beriman.
Di titik itulah air mata Nabi Nuh jatuh bukan karena kehilangan dunia, melainkan karena kehilangan putra yang dicintainya di jalan iman.
Kisah itu menjadi pengingat abadi bahwa iman bukanlah warisan, dan hidayah bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, bahkan oleh seorang nabi kepada anaknya sendiri.
Dari peristiwa ini, kita belajar beberapa hal mendasar. Orang tua tidak bisa menjamin iman anak. Peran ayah dan ibu adalah menanamkan nilai, memberi teladan, serta mendoakan dengan sepenuh hati.
Namun keputusan untuk beriman tetap berada di tangan sang anak, karena Allah-lah pemilik hidayah. Perlu disadari bahwa komunikasi tidak selalu menjamin ketaatan.
Nabi Nuh telah berdakwah dengan tutur kata terbaik dan akhlak terindah, namun tetap ada yang menolak, bahkan dari keluarganya sendiri.
Yang tak kalah penting adalah lingkungan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Kan’an tumbuh di tengah masyarakat yang menolak dakwah ayahnya.
Suara kebenaran yang lembut tenggelam oleh gemuruh bisikan kaum kafir yang lebih sering ia dengar. Kasih sayang Nabi tidak boleh melampaui ketetapan Ilahi.
Ia tidak membangkang pada perintah Tuhan meskipun harus kehilangan anak kandungnya sendiri.
Kisah ini seakan terulang dalam bentuk lain di masa kini. Orang tua modern berjuang menyelamatkan anak-anaknya bukan dari air bah, melainkan dari “banjir zaman”, banjir informasi, banjir hiburan, banjir opini, dan banjir gaya hidup yang sering menyeret anak-anak menuju arus kebebasan tanpa batas.
Seperti Kan’an yang mencari perlindungan pada gunung, anak-anak masa kini pun kerap mencari “tempat berlindung” pada dunia maya, media sosial, game online, dan komunitas digital, tempat di mana mereka merasa diterima, meski sering kali menjauh dari nilai-nilai keluarga dan keimanan.
Bahtera Nabi Nuh dahulu menyelamatkan orang-orang beriman. Dalam konteks masa kini, bahtera itu bernama keluarga. Ayah dan ibu adalah nahkoda yang harus memastikan rumah menjadi tempat aman bagi anak-anak agar tidak hanyut dalam arus deras zaman.
Namun peran itu tidak mudah dijalankan. Orang tua tidak bisa mengawasi anak selama dua puluh empat jam penuh.
Di luar rumah, anak berinteraksi dengan dunia yang luas, sebuah dunia yang menawarkan kebebasan tanpa batas, namun sering kali miskin arah dan makna.
Karena itu, tantangan terbesar bagi orang tua bukanlah mengontrol anak, tetapi menanamkan nilai agar ketika mereka jauh dari pandangan, hati mereka tetap terikat pada kebenaran.
Nabi Nuh memanggil anaknya hingga detik terakhir. Begitu pula orang tua masa kini mesti berjuang tanpa mengenal kata lelah, menasihati dengan cinta, memberi teladan dengan tindakan, dan mendoakan dengan sepenuh hati.
Hasil akhirnya, biarlah menjadi urusan Allah yang Maha Mengetahui isi hati.
Anak zaman sekarang tidak cukup diberi larangan. Mereka hidup di era logika dan keterbukaan. Mereka perlu penjelasan yang menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar larangan yang memunculkan perlawanan.
Pendidikan yang efektif bukan lagi bersifat otoriter, tetapi dilakukan dengan kelembutan dan dialog yang bermakna.
Nabi Nuh tidak pernah putus asa. Ia berdakwah selama ratusan tahun, meski pengikutnya hanya segelintir. Dari keteguhannya, kita belajar bahwa mendidik anak adalah perjuangan panjang, bukan hasil instan.
Pendidikan agama sejak dini menjadi benteng utama. Anak yang dibimbing sejak kecil akan lebih kuat menghadapi godaan dunia.
Namun bimbingan itu perlu dibalut dengan kasih sayang, bukan paksaan. Nilai-nilai kebaikan tidak akan menempel di hati jika ditanam dengan ketakutan.
Ia hanya tumbuh subur bila disiram dengan cinta dan doa. Selain itu, relasi yang hangat antara orang tua dan anak menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan.
Seorang anak tidak akan mudah menolak nasihat dari orang tua yang ia cintai dan hormati. Kedekatan emosional adalah jalan bagi nilai untuk menembus hati.
Orang tua juga perlu menyadari bahwa setiap anak memiliki kehendak bebas. Mereka bukan boneka yang bisa dikendalikan, melainkan jiwa yang tumbuh dan mencari jati dirinya sendiri.
Orang tua hanya bisa menjadi penerang jalan, bukan penentu arah. Memaksa justru dapat menimbulkan penolakan yang lebih dalam.
Dan di atas segalanya, doa adalah senjata utama. Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan para nabi lainnya meneladankan betapa pentingnya doa dalam memohon keselamatan bagi keturunan.
Ketika lidah tak lagi mampu menasihati, biarlah hati berbisik dalam sujud panjang, menyerahkan semuanya kepada kasih sayang Allah yang tak terbatas.
Kisah Nabi Nuh dan Kan’an adalah cermin jernih bagi para orang tua masa kini. Bahtera itu kini bukan lagi terbuat dari kayu, melainkan dari nilai-nilai yang dibangun di rumah tangga: kejujuran, kesabaran, kasih sayang, dan doa.
Sedangkan banjir itu bukan lagi air bah, melainkan derasnya arus zaman yang siap menenggelamkan generasi jika tidak dijaga dengan iman.
Sebagai orang tua, tugas kita bukan memastikan anak tidak pernah salah, tetapi memastikan mereka punya bekal untuk kembali ketika tersesat.
Kita tidak bisa menjamin arah angin, tetapi kita bisa menguatkan layar bahtera agar tetap kokoh di tengah badai.
Pada akhirnya, seperti Nabi Nuh, kita hanya bisa menyiapkan bahtera yang kuat dan berlayar dengan doa. Dan di situlah tugas kita menemukan maknanya, bukan untuk menjadi pengendali nasib anak, tetapi menjadi penuntun cahaya, yang terus menyalakan lentera harapan di tengah gelapnya zaman.
Sebab dalam setiap doa yang terucap, di sanalah kasih orang tua berpadu dengan kasih Tuhan, mengantarkan anak-anak kita menuju keselamatan dunia dan akhirat.(fsy)













