Di era digital sekarang, semua serba cepat — notifikasi terus berdatangan, deadline silih berganti, dan ekspektasi sosial makin tinggi.
Banyak anak muda merasa harus produktif terus-menerus, sampai lupa untuk benar-benar menikmati hidup.
Dari sinilah muncul konsep slow living, yaitu gaya hidup yang mengajak kita memperlambat ritme dan menemukan makna di setiap momen sederhana.
Makna Slow Living
Slow living bukan berarti malas atau tidak punya ambisi. Justru sebaliknya, ini soal memilih dengan sadar apa yang penting dan membiarkan diri hadir penuh dalam setiap kegiatan.
Contohnya:
– Menikmati secangkir kopi tanpa scroll HP.
– Meluangkan waktu untuk journaling atau jalan sore.
– Menolak aktivitas yang tidak sejalan dengan nilai diri.
Slow living adalah tentang kualitas, bukan kuantitas.
Ada beberapa hal yang membuat konsep Ini Relevan untuk Generasi Muda, yaitu:
– Tekanan sosial dan burnout meningkat. Banyak mahasiswa dan pekerja muda merasa lelah karena tuntutan akademik, organisasi, hingga media sosial.
– Kebutuhan akan keseimbangan hidup. Slow living membantu menjaga kesehatan mental dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
Cara Menerapkan Slow Living
– Kurangi distraksi digital. Batasi notifikasi dan luangkan waktu tanpa layar setiap hari.
– Nikmati proses, bukan hanya hasil. Dalam dunia desain, misalnya, nikmati eksplorasi ide sebelum terburu-buru menyelesaikan karya.
– Bersyukur dan sadar diri. Lakukan refleksi kecil tiap malam untuk menyadari apa yang membuat hari itu berarti.
– Prioritaskan keseimbangan. Belajar berkata “tidak” pada hal yang tidak penting.
Di dunia yang menuntut kita untuk selalu cepat, memilih berjalan pelan justru bisa jadi bentuk keberanian.
Slow living mengajarkan bahwa hidup bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa dalam kita merasakan setiap langkah.
Oleh: Nazmah Syahla Naulinna – DKV | Universitas Pasundan













