Karinding adalah salah satu alat musik tradisional khas Jawabarat yang memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan ada yang menyebutkan bahwa alat musik karinding ini sudah ada sejak abad ke-6 atau lebih dari 500 tahun.
Pada zaman dahulu, karinding tidak hanya digunakan sebagai sarana hiburan, tetapi juga memiliki fungsi yang sangat berguna untuk para petani, suara dan getarannya di percayai bisa mengusir hama seperti serangga,tikus, bahkan burung pipit yang bisa merusak sawah atau ladang.
Hal ini menunjukan bahwa karinding bukan sekedar alat musik, melainkan juga bagian dari cara hidup masyarakat sunda yang sangat dekat dengan alam.
Karinding biasanya terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah di temukan, seperti bambu atau pelapah aren. Bahan ini dipilih karena sifatnya yang lentur dan mampu menghasilkan suara yang unik.
Proses pembuatannya dilakukan dengan keterampilan khusus, batang bambu yang di buat tipis dan memanjang, kemudian di bentuk menyerupai bilah dengan lidah getar di tengahnya. Pada ujung karinding terdapat celah atau lubang tipis memanjang yang berfungsi untuk mengeluarkan suara, dan getaranya dihasilkan oleh ujung bambu yang di ketuk oleh jari.
Untuk cara memainkan nya, karinding di tempelkan di bibir, dan rongga mulut berpungsi sebagai resonator yang mengatur tinggi rendahnya nada, dan untuk menghasilkan getaran nya harus menggunakan jari yang di ketuk di ujung bambu.
Dalam konteks kebudayaan, karinding lebih dari sekedar alat musik. Karinding sering di mainkan sebagai nyanyian tradisional,pantun, atau tarawangsa dalam ritual-ritual adat tertentu. Suaranya yang halus dan dalam menciptakan nuansa yang mediatif, seakan membawa pendengar nya pada keheningan alam.
Ada filosofi sunda yang terikat dengan alat musik karinding ini ‘’cicing tapi nyarita’’ yang artinya (diam tapi berbicara). Filosofi ini melambangkan bahwa sesuatu yang sederhana , bahkan tanpa suara yang keras, karinding mampu menyampaikan pesan yang sangat mendalam.
Karinding juga digunakan sebagai alat musik di pedesaan pada waktu itu, dimana bunya yang di hasilkan oleh karinding menjadi kode atau isyarat di tengah hutan atau sawah.
Di zaman modern karinding mengalami masa surut, karena banyak budaya serta musik barat yang membuat generasi muda kurang mengenal alat musik ini.
Tetapi untungnya karinding tidak benar- benar hilang. Di beberapa daerah karinding masih di pertahankan sebagai identitas dari budaya. Seperti di Banten yang masih menggunakan karinding untuk upacara adat.
Kebangkitan karinding mulai terasa ketika para musisi sunda, salah satunya komunitas Karinding Attack, menggabungkan suara karinding dengan musik metal, reggae, hingga elektronik. Perpaduan ini membuat karinding terdengar segar dan relevan bagi generasi sekarang, tanpa kehilangan nilai tradisinya.
Saat ini, karinding juga masuk ke berbagai sanggar seni dan sekolah budaya di Jawabarat. Pemerintah daerah bahkan sering mengadakan festival karinding untuk memperkenalkan kekayaan budaya sunda pada khalayak luas.
Karinding ini tidak hanya hadir dalam acara adat, tetapi juga sudah masuk ke panggung musik modern, film, hingga konten digital, membawa pesan bahwa kearifan lokal selalu dapat beradaptasi dengan zaman.
Karinding adalah salah satu simbol harmoni antara manusia, alam, dan budaya. Terbuat dari bahan alami, dimainkan dengan teknik sederhana, namun menghasilkan suara yang sangat bermakna.
Karinding mengajarkan bahwa kebudayaan tidak hanya tentang estetika, tetapi juga tentang filosofi kehidupan yang menghargai alam, kebersamaan, dan identitas leluhur. Dengan memainkannya, kita tidak hanya merasakan bunyi tradisional, tetapi juga merasakan napas panjang sejarah dan kebijaksanaan yang di wariskan dari generasi ke generasi.
Ditulis oleh: Rifqi Achmad Salmun