Di tengah gelombang zaman yang tak menentu, ketika arus teknologi dan globalisasi menggempur nilai-nilai peradaban, Paguyuban Pasundan diharapkan tetap menjadi jangkar dan lilin penerang dalam gelap. Organisasi yang lahir dari rahim para cendekia, dan telah berjuang sejak tahun 1813 menjaga dan merawat peradaban Sunda hingga saat ini.
Peradaban Sunda hakekatnya bukan sekadar kumpulan adat istiadat atau simbol budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Ia adalah roh kehidupan yang menjiwai cara berpikir, bersikap, dan bertindak masyarakat Tatar Pasundan. Filosofi ngajén ka salira, saat ini dibutuhkan sebagai bentuk refleksi untuk penguatan jatidiri masyarakat Sunda di era turbulensi.
Prof. Didi Turmudzi ketua umum Paguyuban Pasundan, menulis puisi berjudul “Sunda Tandang (2015)”, memuat tantangan besar yang dihadapi etnis Sunda saat ini “Tatar Pasundan kiwari ngan kari carita/ dina dongeng ka barudak samemeh sare/ leuweungna geus ruksak/ sawahna geus beak/ budayana ngarakacak/
Puisi “Sunda Tandang” karya Prof. Didi Turmudzi menyentak kesadaran kita semua : bahwa Sunda hari ini tidak baik baik saja. Narasi kebesaran Sunda hanya menjadi dongeng lirih sebelum anak tertidur. Hutannya rusak, sawah mulai musnah, sungai tercemar, budaya tercerai. Nilai-nilai luhur budaya hanya jadi dekorasi upacara adat.
Namun puisi ini bukan hanya ratapan semata. Ia adalah ajakan: tandang. Sunda mesti bangkit, bukan sekadar dikenang. Saatnya menyulam kembali jati diri: lewat pendidikan berbasis spiritual, kearifan lokal, literasi bernafas budaya, dan gerakan pelestarian alam yang melibatkan semua generasi.
Sunda bukan sekadar warisan budaya yang disimpan dalam museum. Ia adalah denyut hidup, nilai yang mesti dihidupi hari ini: dalam bahasa yang kita rawat, dalam tradisi yang kita lestarikan, dan dalam cara kita berpikir, bekerja, dan mencintai sesama. Peradaban Pasundan sejatinya bukan tinggalan masa lalu, melainkan sumber inspirasi masa kini untuk membangun kehidupan kedepan yang lebih bermakna.
Saat ini Paguyuban Pasundan, pada 20 Juli 2025, memasuki usia ke-112 tahun sejak didirikan tahun 1813 oleh beberapa mahasiswa STOVIA. Saat ini menjadi organisasi besar dan tertua yang berbasis etnis di Indonesia. Eksistensi organisasi yang banyak pakar dikatakan anomali, karena mampu bertahan menghadapi ancaman perubahan zaman.
Saat ini semua elemen bangsa dipaksa untuk berubah atau akan menjadi punah. Maka terbentang tantangan besar bagi pengurus besar Paguyuban Pasundan, untuk tetap relevan dengan laju tantangan zaman dan kontributif bagi solusi bangsa. Maka dibutuhkan kemampuan adaptasi dan inovatif membangun peradaban berbasis spiritual, pendidikan dan kearifan lokal Sunda.
Puisi yang merefleksikan kegelisahan ketua umum Paguyuban Pasundan melihat kerusakan alam di tatar sunda yang tak bisa dibendung. Salah satu contoh fenomenalnya adalah kerusakan Sungai Citarum yang masih kelam karena laju pembangunan yang tidak terkendali. Rusaknya sumber daya alam saat ini, dikhawatirkan tidak akan menyisakan untuk anak-cucu kita, karena kerakusan manusia saat ini dalam mengeksploitasi alam.
Dulu pada 1960an, budaya Sunda di Bandung masih sangat kental. Siapapun yang datang ke Bandung, dari manapun asalnya mereka berusaha menjadi seperti orang Sunda. Mereka bicara dengan Bahasa Sunda di mana pun berada. Di toko, alun-alun, sekolah, masjid dan dalam pergaulan keseharian. Saat ini terjadi krisis penggunaan bahasa Sunda.
Kini, banyak generasi muda yang kadang takut bicara pakai Bahasa Sunda karena adanya undak usuk basa. Salah satu cara untuk melestarikan budaya dan Bahasa Sunda pada generasi muda, Paguyuban Pasundan membina 120 sekolah dasar dan menengah, 4 Perguruan Tinggi dan ada Pesantren binaan, serta Akademi Budaya Sunda
Paguyuban Pasundan mengajak seluruh anak bangsa berkolaborasi dan berjihad bersama memerangi kebodohan dan kemiskinan. Jika pada 1913 Paguyuban Pasundan berdiri dipelopori oleh para calon dokter, kini Universitas Pasundan telah meluluskan beberapa angkatan dokter baru, untuk turut menjawab permasalahan kesehatan di Jawa Barat.
Paguyuban ini memilih jalur pendidikan dan kebudayaan sebagai medan juangnya. Pendidikan bukan semata transfer ilmu, melainkan penanaman nilai, penguatan jati diri, dan penempaan akhlak. Kebudayaan bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan napas kehidupan yang menenun harmoni,daya juang yang mempertemukan masa lalu dengan masa depan.
Paguyuban Pasundang bukan sekadar komunitas, tapi gerakan jiwa. yang menyalakan kembali peradaban Sunda, yang tumbuh di atas falsafah silih asah, silih asih, silih asuh. Saling mengasah pikiran, saling menyayangi, saling membimbing. Nilai yang sejalan dengan ajaran Islam : ta’awun (tolong-menolong), ukhuwah (persaudaraan), dan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).
Dalam setiap detak kehidupan Masyarakat Sunda, kita diajak untuk someah hade ka semah, menyambut siapa pun dengan senyum tulus. Kita diajarkan tepa salira, menghargai ruang dan rasa orang lain, sebagaimana Islam memerintahkan kita untuk saling memuliakan, tidak menyakiti, dan menjauhkan diri dari sifat sombong.
Kearifan lokal Sunda selain memuliakan manusia, juga memuliakan alam. Sejalan dengan nilai islam dalam Al-Qur’an, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Maka gunung harus dijaga, sungai dirawat, tanah disayangi. Karena bagi orang Sunda, alam bukan hanya tempat berpijak, juga harus dirawat dan dimuliakan.
Di era yang kian bising dan penuh godaan materi, peradaban Sunda mengajarkan rumasa — kesadaran diri akan kelemahan dan keterbatasan. Rumasa menjaga manusia tetap rendah hati, tidak pongah, tidak silau pada gemerlap dunia. Selaras dengan sabda Rasulullah, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.”
Namun, menjaga peradaban tidak bisa dilakukan sendiri. Di sinilah Paguyuban Pasundan hadir sebagai penjaga obor peradaban. Sejak berdiri lebih dari seabad lalu, Paguyuban Pasundan menjadi rumah besar yang memelihara kebudayaan Sunda, menanamkan rasa bangga, dan menuntun generasi muda agar tidak tercerabut dari akar.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal jatidirinya. Peradaban Sunda mengajarkan kita bahwa kemajuan tak hanya diukur dari gedung pencakar langit atau kecanggihan teknologi, tetapi juga dari seberapa kuat kita memelihara jiwa spiritual, rasa,karsa, dan harmoni kehidupan.
Maka, di zaman yang menuntut kita berlari tanpa henti, mari sesekali kita menoleh ke dalam. Menghayati dan merayakan kembali kesederhanaan, merawat kelembutan, dan meneguhkan nilai-nilai luhur. Sebab, peradaban Sunda bukan sekadar warisan, melainkan cahaya yang menuntun kita menuju masa depan yang lebih beradab dan bermartabat.
Paguyuban Pasundang diharapkan senantiasa menyalakan obor peradaban, agar generasi mendatang tidak hanya sekadar menjadi saksi, melainkan pelaku yang menulis sejarah baru: Sejarah peradaban sunda yang mengakar, berbudaya luhur, beradab dan berkemajuan. Semoga !
Dr. Eki Baihaki, M.Si, Dosen Magister Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana UNPAS, Sunda mukimin dari etnis Banten.
Tulisan didedikasikan untuk almarhum Prof. Eddy Jusuf, yang membuka jalan saya berhidmat di UNPAS, semoga Allah senantiasa memuliakan di alam kuburnya, Aamiin