“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menjadi petunjuk bahwa perubahan, pembangunan, dan kemajuan suatu bangsa atau kota bermula dari perubahan individu, keluarga, dan komunitas. Dalam semangat inilah Kota Cimahi menapaki usia ke-24 dengan mengusung filosofi “Saluyu Ngawangun Jati Mandiri”, sebagai jalan untuk menguatkan identitas sekaligus membangun kemandirian warganya.
Cimahi bukan kota besar secara geografis, tapi punya visi besar sebagai Kota Peradaban. Sebuah kota yang tidak hanya tumbuh secara fisik dan ekonomi, tetapi juga secara nilai, moral, dan spiritualitas, juga etika dan kemanusiaan. Kota tempat di mana pembangunan tidak merusak nilai, kemajuan tidak mengorbankan martabat, dan masyarakat tidak tercerabut dari akar budaya dan spiritualnya.
Kita mengenal konsep al-Madinah al-Fadhilah dari filsuf Islam Al-Farabi : kota utama adalah tempat di mana pemimpin dan masyarakat bekerja sama membangun kebahagiaan sejati, bukan sekadar memenuhi kebutuhan jasmani. Senada dengan itu, pemikir Indonesia, Nurcholish Madjid, menyebut “masyarakat madani” sebagai masyarakat yang hidup dalam nilai demokrasi, keadilan, dan moralitas publik.
Kota Cimahi dalam membangun peradaban pasti bukan tanpa masalah, tetapi siap menghadapi masalah dengan cara yang bermartabat. Peradaban adalah ketika warga kota hidup dengan nilai: menjaga kebersihan, saling menghormati, menghargai ilmu, dan menjadikan agama sebagai spirit kehidupan sehari-hari. Cimahi menempatkan pendidikan, spiritualitas, dan budaya lokal sebagai poros utama pembangunan.
Bersama Membangun Kebaikan
“Saluyu” dalam Bahasa Sunda bermakna seiring sejalan, harmonis, gotong royong. Makna ini menjadi penting di tengah kompleksitas persoalan perkotaan seperti pengelolaan sampah, ketahanan keluarga, pendidikan karakter, hingga narkoba dan degradasi moral remaja, harus menjadi perhatian bersama.
Cimahi hari ini terus mendorong kolaborasi berbagai unsur masyarakat—pemerintah, ulama, akademisi, komunitas, dan media. Kolaborasi yang disebut sebagai model pentahelix ini terbukti mampu menghidupkan inovasi berbasis komunitas: dari Kampung Cendekia, Gerakan Cimahi Zero TPA, kegiatan Maghrib Mengaji di RW-RW, RW Bersih Narkotika, RW Siaga Bencana hingga Gerakan IKIP Sliwangi Mengajar (GISMA)
Ketika warga memilah dan mengelola sampah dari rumah, itu adalah bentuk ibadah ekologis yang harus digalakan. Saat anak-anak muda aktif dalam kegiatan literasi, kebudayaan, atau pelatihan wirausaha, mereka sedang merajut jati diri sekaligus membangun masa depan yang lebih baik
Ngawangun Jati Mandiri : Menumbuhkan Kemandirian Berakar Nilai
Kemandirian yang diusung Cimahi bukan semata ekonomi atau teknologi. Lebih dalam, Ngawangun Jati Mandiri berarti menumbuhkan kesadaran warga untuk menggali potensi lokal, menjaga kehormatan lingkungan, serta menjadikan nilai agama dan budaya sebagai pijakan.
Di tengah dunia yang makin individualistik, Cimahi berusaha menjadi oase yang menghadirkan nilai-nilai kebersamaan, kebajikan, dan keteladanan. Peradaban hanya akan tumbuh jika dibangun dari bawah, dari ruang keluarga, ruang kelas, masjid, pesantren, gereja, vihara dan kantor-kantor pelayanan publik yang berintegritas.
Kini, warga Cimahi harus menatap dan berkomitmen menata masa depan Cimahi sebagai kota yang bersih lahir-batin, sehat jasmani-rohani, dan kuat secara spiritual maupun sosial. Tentu perjalanan masih panjang, tapi dengan semangat Saluyu Ngawangun Jati Mandiri, harapan itu bukan sekadar angan.
Dirgahayu ke-24 Kota Cimahi. Semoga Allah memberkahi kota ini dan menjadikannya cahaya peradaban yang memberi manfaat bagi warga, bangsa, dan dunia. Semoga !
Penulis : Dr. Eki Baihaki, M.Si,
Warga Puri Cipageran Indah Cimahi, Dosen Magister Komunikasi Pascasarjana UNPAS, Sekretaris ICMI orda Cimahi