Oleh: Ustad Rio Pale
“Alhamdulillah, dia aman.”
Kalimat itu terdengar ringan. Tapi kenyataannya, tempat itu masih terus dibombardir. Namun dalam kondisi genting seperti itu, bantuan masih bisa masuk.
“Mengapa bisa masuk, Bu?” tanya seseorang dalam forum kecil kami.
Jawaban sederhana tapi dalam keluar dari bibir seorang relawan senior, “Karena kami tidak memaksakan diri untuk selalu berangkat sendiri.”
Kami tidak memaksa bahwa harus tim dari Indonesia yang turun langsung ke sana. Itu terlalu berisiko, bahkan bisa menghambat. Yang kami lakukan adalah berkoordinasi erat dengan mitra-mitra lokal. Mereka tahu kondisi lapangan. Mereka tahu di mana bisa lewat, kapan harus berhenti.
Kami cukup bertanya, “Apa yang kalian butuhkan?”
Terkadang jawabannya sederhana: angin segar. Di tengah reruntuhan, di bawah langit yang masih menggelegar, mereka hanya ingin bertahan, mengatur napas, menjaga nyawa anak-anak mereka tetap hangat.
Mereka tidak butuh simbol. Mereka butuh solusi.
Hari ini kami tidak hanya mencatat berapa paket yang terkirim. Tapi kami mencatat berapa nyawa yang kembali punya harapan. Di balik reruntuhan, masih ada tangan-tangan yang bergerak. Dan selama masih ada yang peduli, Insya Allah, masih ada secercah cahaya.