Tradisi mudik sudah sangat lekat mejelang perayaan Idul Fitri. Kegiatan ini seolah menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat terutama dari kalangan perantau walaupun harus menempuh jarak yang jauh dan menembus kemacetan.
Tradisi mudik di Indonesia telah menjadi fenomena sosial yang unik sejak tahun 1970-an. Seiring dengan meningkatnya urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, pada era tersebut istilah mudik mulai dikenal luas
Menurut antropolog UGM, Heddy Shri Ahimsa-Putra, istilah mudik mulai dikenal luas pada era 70-an. Pada masa Orde Baru, pembangunan difokuskan di kota-kota besar hingga menarik penduduk desa untuk urbanisasi.
Akibatnya, banyak perantau yang merindukan kampung halaman dan keluarga mereka saat lebaran tiba. Mudik tidak hanya sekadar perjalanan pulang, tetapi juga sarana mempererat tali silaturahmi dengan keluarga besar.
Tradisi ini menjadi momentum bagi perantau untuk melepas rindu dan berkumpul bersama sanak saudara. Selain itu, mudik juga memiliki dampak ekonomi signifikan, terutama bagi daerah asal perantau.
Peningkatan aktivitas ekonomi lokal terjadi saat musim mudik, seperti peningkatan penjualan oleh-oleh dan kerajinan tangan. Selain itu, mudik menjadi ajang pelestarian budaya dan tradisi lokal.
Perantau yang kembali membawa serta kebiasaan dan budaya kota, menciptakan akulturasi yang memperkaya budaya lokal.
Dari sisi pemerintah setiap tahun menghadapi tantangan dalam mengelola arus mudik yang besar. Upaya peningkatan infrastruktur transportasi dan layanan publik terus dilakukan untuk menjamin keamanan dan kelancaran mudik.
Satu hal yang menarik, meskipun teknologi komunikasi telah berkembang pesat, keinginan untuk bertemu langsung dengan keluarga saat Lebaran tetap kuat.