Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Ketika seseorang membangga-banggakan dua selimutnya yang membuatnya takjub terhadap dirinya sendiri maka Allah menenggelamkan bumi karenanya. Oleh karena itu, ia pun terguncang-guncang di atas bumi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam Sabdanya lagi, “Tiga perkara yang membinasakan, kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, dan ketakjuban seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. Thabrani).
Apa yang terjadi ketika gigi dirusak kuman? Apa yang terjadi ketika pohon diserang hama? Tentunya gigi akan rusak dan berlubang … dan pohon akan mati.
Begitu juga yang dilakukan sifat ‘ujub terhadap diri kita. ‘Ujub adalah penyakit yang mematikan bagi banyak hal. Dia adalah penyakit bagi akal, ilmu, niat ikhlas, dan kemajuan. Betapa banyak ilmuwan yang telah mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu pengetahuan, lalu dia merasa bangga dengan ilmunya sehingga dia pun berhenti berusaha untuk menambah ilmunya, dan akhirnya di diungguli oleh orang lain. Betapa banyak orang yang berakhlak mulia, lalu dia merasa bangga dengan akhlak dirinya sehingga akhirnya dia menjadi orang yang menyimpang dari akhlak yang mulia. Betapa banyak orang yang kaya, kemudian dia merasa bangga dengan kekayaannya, namun akhirnya dia jatuh miskin. Betapa banyak orang yang berkedudukan tinggi, tapi dia merasa bangga dengan kedudukan tersebut, namun pada akhirnya dia terhina.
Karena itu, jangan kita merasa bangga dengan diri kita, walaupun kita mempunyai ilmu, fisik, akhlak, harta, kedudukan. Karena ‘ujub akan menurunkan grafik prestasi kita. Khalifah ke empat Ali bin Abi Thalib mengatakan, “’Ujub mencegah peningkatan. ‘Ujub adalah lawan kebenaran, dan penyakit bagi akal. Keburukan yang menyebabkan engkau menyesal itu lebih baik dibandingkan kebaikan yang membuatmu bangga. Barangsiapa yang merasa kagum dengan pendapatnya maka dia telah sesat.”
Ujub dan Putus Asa
Ibnu Mas’ud berkata, “Kebinasaan terletak pada dua perkara, yaitu ujub dan putus asa.” Dua perkara ini dikumpulkan karena kebahagiaan dapat diraih dengan mencarinya dan tekun. Orang putus asa enggan untuk mencari, dan orang yang ujub mengira ia akan mendapatkan keinginannya sehingga ia tidak mau berusaha. Mutharrif rahimallah bertutur, “Sungguh aku lebih suka tidur dan bangun dalam keadaan menyesal daripada aku shalat sepanjang malam kemudian aku ujub.”
Ujub dapat mengantarkan seseorang pada sikap sombong, karena ujub termasuk penyakit takabur. Karena itu, dari ujub ini lahir sikap sombong (takabur) dan dari takabur muncul banyak bencana. Hal ini berlaku dikalangan kita sebagai manusia.
Sedangkan dihadapan Sang Khaliq maka ujub terhadap amal ketaatan muncul karena ia menganggap ketaatannya sudah banyak. Seolah-olah ia menganggap bahwa dengan amal ketaatannya, Allah akan memberinya anugerah dan ia lupa bahwa nikmat yang ia terima adalah taufik Allah. Ia juga buta terhadap bencana-bencana yang dapat merusak amalnya. Orang yang mengetahui bencana-bencana amal adalah orang yang takut amalnya tidak diterima dan tidak merasa ujub.
Terkadang ujub muncul karena adanya gambaran kesempurnaan dari orang yang mengetahui atau yang beramal. Bila hal ini ditambah lagi dengan pandangan bahwa ia merasa memiliki hak di sisi Allah sebagai penguat maka ujub di sini disebabkan oleh anggapan hebat apa yang ia takjubi. Kemudian dikuatkan oleh adanya pembalasan amalnya, seperti doanya yang dikabulkan.
Jangan Terpedaya Setan
Termasuk di antara sifat yang membinasakan ialah ghurur atau terpedaya (tipu daya). Yakni, gambaran atau pemahaman seseorang tentang sesuatu perkara yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Seseorang bisa terpedaya lantaran mata hatinya terlampau lemah untuk memahami seluk beluk agama, sedang pengertiannya sangat lemah terhadap hakekat-hakekatnya. Di samping itu, ia pun buta terhadap perkara-perkara yang merusak amalan, disebabkan setan telah memperdaya dirinya dan menunggangi hawa nafsunya, sedang ia sendiri telah menyerah kalah kepada perintah dan tipu dayanya.
Seorang muslim mewaspadai terhadap terpedaya setan, serta bersungguh-sungguh agar sifat tersebut tidak menjadi sifatnya dalam kondisi apa pun. Sebab, terpedaya setan merupakan penghalang dan bencana besar untuk mencapai kesempurnaan, baik di masa sekarang maupun yang akan datang.
Betapa banyak kenikmatan berubah menjadi siksaan lantaran ujub dan terpedaya tersebut? Betapa banyak kemuliaan berubah menjadi kehinaan, dan betapa banyak kekuatan yang berubah menjadi kelemahan gara-gara dua sifat tersebut? Maka dari itu, cukuplah keduanya sebagai penyakit yang berbahaya, dan cukuplah keduanya menjadi bencana bagi pelakunya.
Seorang muslim harus waspada dan takut terhadap dua sifat tersebut, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengharamkan, membenci, serta memberikan peringatan terhadap keduanya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri, dan kamu hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah, dan penipu (setan) datang memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 14).
Tipu daya setan banyak sekali jenisnya, demikian pula orang-orang yang terpedaya. Mereka meliputi golongan yang taat dan golongan yang berbuat maksiat.
Dalam masalah ibadah: Seseorang banyak melakukan amal ibadah, banyak mengerjakan shalat sunnah, sering bangun malam untuk beribadah, dan banyak pula melakukan kebajikan. Namun, di balik itu ia menjadi ujub dan berbangga diri dengan mendakwakan, bahwa semua perbuatan itu atas usaha dan tenaga sendiri. Ia lupa, bahwa semua itu lantaran Allah telah mengaruniakan kepadanya taufik dan hidayah-Nya. Ia juga tidak sadar, bahwa ujub akan menghapuskan amalan, sebagaimana mengerjakan ibadah secara riya’ untuk mencari kedudukan dan kehormatan di mata orang banyak.
Abu Darda r.a. berkata, “Alangkah baiknya, jika ahli-ahli ibadah itu tidur saja di waktu malam, dan berbuka pula di waktu siang. Betapa mereka itu dianggap lebih utama daripada orang-orang bodoh yang bangun di waktu malam, dan berpuasa di waktu siang. Amalan sebesar semut dari ahli yakin dan taqwa, adalah lebih utama dibanding amalan sebesar gunung dari orang-orang yang terpedaya.
Dalam masalah kekuatan. Adakalanya seseorang merasa takjub dengan kekuatannya dan terpedaya dengan kekuasaannya, sehingga ia berlaku sewenang-wenang dan aniaya, menipu, mengintimidasi, dan lain-lain. Maka yang demikian itu menjadi kehinaan dan bencana baginya. ‘Kaum Ad merasa bangga dengan kekuatannya dan terpedaya oleh kerajaannya. Mereka berkata, “Siapakah yang lebih kuat dari kami?” Maka Allah menimpakan azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan akhirat’. ‘Iblis laknatullah membanggakan kedudukannya, terpedaya oleh dirinya sendiri dan asal kejadiannya. Dia berkata, “Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” Maka Allah menjauhkannya dari rahmat-Nya dan dari kesenangan di hadirat kesucian-Nya’.
Dalam masalah kemuliaan (kehormatan). Adakalanya seseorang merasa takjub dengan kemuliaannya dan terpedaya dengan nasab dan asal keturunannya. Sehingga ia pun menjadi lalai untuk menggapai kemuliaan, menjadi lemah untuk mencari kesempurnaan, berlambat-lambat dalam beramal, suka menghina, meremehkan, serta merendahkan orang lain.
Terapi Penyakit Bangga Diri
Allah adalah Zat yang menganugerahkan nikmat dengan menciptakan manusia dan amalnya. Karena itu, tidak ada artinya seseorang takjub terhadap amalnya. Tak ada artinya seseorang merasa tahu bahwa karena ilmunya. Tak ada artinya seseorang merasa bagus karena kebagusannya. Tak ada artinya seseorang merasa kaya karena kekayaannya. Karena, semua itu adalah anugerah dari Allah. Anak Adam hanyalah tempat pelimpahan nikmat dan tempat bagi kenikmatan orang lain. Semua adalah pinjaman dari Allah. Oleh karena itu, hendaklah kita tidak takjub terhadap sesuatu yang tidak diciptakan untuk kita, tidak dimilikinya, dan tidak diyakini keabadiannya, bisa saja esok hari dirampas oleh Allah Swt. jika Dia menghendakinya.
Bagaimana pun besarnya ketaatan seseorang hamba kepada Rabbnya, tidak akan pernah bisa menyamai apa yang telah Allah karuniakan kepada hamba-Nya. Dan sesungguhnya Allah Swt. tidak akan pernah bisa diungkit-ungkit pemberian-Nya dengan sesuatu pun. Sebab, Dia adalah sumber segala Keutamaan dan Pemberi segala kebaikan. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada amal seorang pun di antara kalian yang dapat memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, hanya saja Allah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepadaku.” (HR. Bukhari). Wallahu A’lam bish-shawwab.
Ditulis oleh: Karsidi Diningrat
– Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
– Wakil Ketua I Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al-Washliyah.