Saat ini sebagian besar aktivitas dan interaksi manusia, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, kerjasama pemerintahan, dan lain – lain banyak dilakukan melalui dunia maya. Hal ini sudah merupakan tuntutan kemajuan yang dianggap cepat dan lebih efektif serta efisien, tetapi juga memiliki resiko dari kemungkinan adanya serangan siber dan bahaya teknologi komunikasi nirkabel. Secara global, tidak ada sektor yang dianggap kebal dari dampak kemungkinan terjadinya perang siber.
Perusahaan multinasional, lembaga pemerintah di semua tingkatan, organisasi besar, institusi militer, institusi kepolisian, Kementerian / Lembaga dan yang lainnya selalu memiliki resiko dari kemungkinan adanya serangan siber. Dengan demikian, maka keberadaan dan optimalisasi peran Pasukan Dunia Maya atau Pasukan Siber sangat penting sekali. Bahkan di dunia keberadaan pasukan siber ini sudah dikategorikan angkatan ke-4, setelah Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan kemudian Angkatan Siber “, ujar Pemerhati Hankam Dede Farhan Aulawi di Bandung, Senin (18/3).
Menurutnya, eksistensi pasukan siber saat ini sudah merupakan tuntutan dan fakta realitas yang objektif sesuai dengan dinamika dan potensi ancaman yang terus berkembang. Hal ini pula yang melatarbelakangi pasukan NATO sejak tahun 2018 membentuk semacam kaukus pasukan siber-nya. Saat itu ada 61 negara di seluruh dunia yang memiliki kemampuan dan wewenang untuk melakukan operasi dunia maya, yang memengaruhi interaksi diplomatik dan militer. Di antara mereka, 23 negara adalah anggota NATO anggota. Jumlah ini merupakan peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun 2007 ketika hanya sepuluh negara, termasuk tiga negara NATO, yang memiliki kekuatan pasukan siber. Isu tentang perang siber (cyber war) terus dan selalu mengemuka di berbagai pertemuan para ahli pertahanan siber, bahkan diramalkan bisa memicu ketegangan antar Negara yang berimbas pada terancamnya kedamaian dunia.
Itulah sebabnya Kepala Badan Telekomunikasi PBB, Toure Hamadoun pernah memperingatkan potensi perang dunia di dunia maya
Meskipun pembentukan komando siber tersebar luas, banyak militer sekutu NATO menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan kompleksitas domain siber. Hanya sedikit sekutu NATO yang sudah piawai dalam melakukan operasi siber, yang mencakup tindakan untuk mengganggu, menyangkal, merendahkan martabat, dan berpotensi merusak target. Beberapa negara terus bergulat dengan integrasi operasi siber ke dalam pandangan strategis dan kerangka hukum mereka. Inilah hal yang menarik untuk dikaji agar bisa memprediksi militerisasi dunia maya dan menentukan arah konflik dunia maya di masa depan. Sebagai catatan, riset pasukan siber yang mengemuka saat ini masih didominasi oleh AS, Rusia, Tiongkok, Korea Utara, dan Iran.
Fakta perang siber telah menjadi mandala perang baru sebenarnya sudah dan terus berlangsung sepanjang waktu. Penyerangan secara terbatas telah terjadi berkali – kali oleh beberapa negara, dimana kondisi ini dapat juga diasumsikan sebagai uji coba, namun peperangan yang sesungguhnya dan jauh lebih besar telah dipersiapkan berdasarkan urutan kronologis kejadian pada jaringan komputer di dunia yang telah dimulai sejak awal tahun 2000-an. Diantaranya Internet social engineering attacks, Network sniffers, Packet spoofing, Hijacking sessions, Automated probes and scans, GUI (Graphical User Interface) intruder tools, Automated widespread attacks, Widespread denialof-service attacks, Executable code attacks (against browsers), Techniques to analyse code with Vulnerabilities without source, Widespread attacks on DNS infrastructure, Widespread attacks using NNTP to distribute attack, “Stealth” and other advanced scanning techniques, Windows-based remote controllable Trojans (Back Orifice), Email propagation of malicious code, Wide-scale Trojan distribution,Distributed attack tools, Distributed Denial of service (DDoS) attacks,Targeting of specific users, Antiforensic techniques, Wide-scale use of worms, dan Sophisticated command and control attacks.
Trend ancaman serangan siber akan berkembang terus sesuai perkembangan teknologi informasi, oleh karenanya perlu dilakukan riset secara terus-menerus untuk mampu mengatasi berbagai teknik, taktik dan, strategi pertahanan siber yang akan terus berkembang ke depan. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, telah ditetapkan bahwa ancaman dalam sistem pertahanan negara terdiri dari ancaman militer dan ancaman non militer, termasuk diantaranya ancaman siber. Salah satu efek samping negatif dari perkembangan dunia siber melalui internet antara lain adalah kejahatan dalam bentuk pelanggaran hukum (cyber crime), dimana bila eskalasinya lebih meluas dapat mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah maupun keselamatan bangsa.
Tantangan-tantangan yang akan dihadapi umumnya terkait dengan pandangan kapasitas operasional dari pasukan siber ini, mulai dari interaksi antara pandangan strategis, operasional, dan ketersediaan keterampilan sumber dayanya. Salah satu tantangan utama muncul terkait dengan mandat atau kewenangan untuk melakukan pengintaian, sehingga sulit untuk mengidentifikasi target potensial dan mempersiapkan operasi dengan baik sejak awal.
Aspek mendasar dalam membangun kekuatan siber militer tidak terletak pada perolehan sumber daya material, namun pada rekrutmen, pelatihan, dan retensi individu-individu yang terampil. Selain itu, landasan hukum atau payung hukum yang masih lemah seringkali menghalangi imajinasi, improvisasi, dan kreativitas para ahli siber yang diperlukan untuk skenario perang siber di masa depan.
“Dalam konteks pengembangan kualitas personil pasukan siber, kita bisa belajar dari pasukan siber Belanda (DCC) dengan melakukan tiga pendekatan. Pertama, mereka memiliki dan melaksanakan program pelatihan tempur siber secara berkelanjutan, diantaranya membangun fasilitas pelatihan dan pengujian keamanan siber yang dikenal sebagai ‘cyber range’, khusus untuk digunakan oleh DCC. dTermasuk melaksanakan latihan gabungan keamanan siber internasional. Latihan pertahanan siber internasional terbesar yang menawarkan ‘tantangan teknis tembakan langsung paling rumit di dunia’ adalah Locked Shields, yang diselenggarakan oleh Pusat Keunggulan Pertahanan Siber NATO “, pungkas Dede