Sekolah adalah miniatur dari relasi intern dan antarumat beragama. Dari wadah sekolah inilah calon penerus bangsa membangun karakternya, selain kualitas akademisnya, untuk menjadi generasi unggul.
Pemerintah saat ini tidak semata membangun kecerdasan akademis namun juga kecerdasan emosional dan spiritual anak didik. Oleh karena itu, penting bagi sekolah mengajari siswanya pendidikan karakter bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila.
Seragam murid sekolah memang merupakan bagian kecil dari pola pengajaran nasional. Di beberapa negara, pengaturan seragam memiliki nilai dan kekhasan tersendiri. Bahkan, ada negara yang tidak perlu mengatur seragam sedemikian rupa. Bebas saja. Sepanjang pakaian murid sesuai etika sosial masyarakat setempat.
Pemerintah sendiri sejak 1981 menerapkan kewajiban mengenakan seragam putih merah (SD), putih biru (SMP), dan putih abu-abu (SMA) di sekolah-sekolah negeri. Kebijakan tersebut dibuat untuk mengatasi kesenjangan antara murid yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan kemampuan ekonomi keluarga. Adapun sekolah swasta atau keagamaan bebas mengatur seragam atau atribut bagi murid dan tenaga pengajar mereka.
Menyikapi beberapa kasus pemaksaan atribut seragam berdasarkan identitas keagamaan di daerah, pemerintah akhirnya membuat surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Menteri Dalam Negeri RI, dan Menteri Agama RI (SKB tiga menteri). Isinya tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
“SKB tiga menteri ini berdasarkan tiga pertimbangan. Yang pertama, bahwa sekolah memiliki peran yang penting dalam menjaga eksistensi ideologi negara kita yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Mendikbud Nadiem Anwar Makarim di Jakarta, Rabu (3/2/2021).
Pertimbangan yang kedua bahwa sekolah dalam fungsinya untuk membangun wawasan, sikap, dan karakter para peserta didik harus memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, dan membina serta memperkuat kerukunan antarumat beragama.
Pertimbangan selanjutnya adalah bahwa pakaian atau pakaian seragam dan atribut bagi para murid dan para guru adalah salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.
Keputusan SKB ini hanya mengatur sekolah negeri. Sekolah negeri diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia, dengan agama apapun dengan etnisitas apapun, dengan keragaman apapun.
Kunci dari yang harus ditekankan dari SKB ini adalah hak di dalam sekolah negeri, hak untuk memakai atribut kekhususan keagamaan adanya di guru, dan murid, dan tentunya orang tua. Pemerintah daerah ataupun sekolah tidak boleh mewajibkan, ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
SKB ini juga memerintahkan pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan-aturan yang mewajibkan, atau melarang seragam dan atribut tersebut paling lama 30 hari sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
Jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, pemerintah daerah bisa kehilangan kucuran bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.
Sementara itu, Kementerian Agama juga akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.
Para peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh ini dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini, sesuai dengan keputusan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait Pemerintahan Aceh.
Kemendikbud mempersilakan publik untuk mengajukan aduan atau pelaporan terkait pelanggaran SKB tiga menteri ini di Unit Pelayanan Terpadu Kemendikbud atau saluran pengaduan lainnya lewat media sosial dan laman Kemendikbud.
Bukan Sekularisasi
Satu hal, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi meminta masyarakat tidak perlu apriori terhadap penerbitan SKB tiga menteri. “Karena tujuannya justru untuk melindungi hak asasi siswa, guru, dan tenaga kependidikan di sekolah,” tuturnya.
SKB ini justru menegaskan negara tetap membolehkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan mengenakan pakaian sesuai keyakinan agama masing-masing.
“Dengan demikian tuduhan negara melakukan sekularisasi kurang tepat dan berlebihan. Terbitnya SKB tiga menteri sudah sangat sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang beragam, plural, dan bhinneka,” lanjutnya.
Wamenag berharap, hadirnya SKB dapat menghindarkan sikap berlebihan para pengambil kebijakan dalam membuat peraturan yang dapat mengganggu harmoni kehidupan beragama di masyarakat.
Menanggapi SKB tersebut, Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai, SKB tiga menteri memberikan jaminan kebebasan menjalankan ajaran agama termasuk tak memaksakan seragam atau atribut keagamaan bagi peserta didik.
Ia beranggapan sekolah harus menanamkan nilai-nilai kerukunan di tengah segala perbedaan yang ada tanpa mempersoalkan ketentuan seragam. Pasalnya, negara-negara yang maju tingkat pendidikannya tidak pernah mempersoalkan soal seragam murid sekolah.
Sumber : Indonesia.go.id