Refleksi tentang haji dari seorang cendekiawan muslim Iran, Dr. Ali Syariati, menarik untuk direfleksi kembali. Menjadi bahan renungan agar mampu lurus di jalur mabrur. Haji adalah sebuah “simbol”, katanya, bak samudera tak bertepi. Semakin dalam menyelami lautan ini, semakin jauh dari tepiannya.
Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaan’ diri sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam.
Tak berlebihan kiranya refleksi seorang Ali Syariati. Tak berlebihan, karena memang banyak orang yang terjebak hanya dengan gerakan ritual fisik semata, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki.
Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Baitullah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak “berjumpa” dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar untuk putra tercintanya, Ismail.
Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain doa-doa untuk kesaktian diri. Mereka bahkan melontar jumrah dengan semangat, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam diri.
Jika ibadah tak merasuk ke dalam jiwa, segenap prosesi haji itu hanya sebagai kehadiran fisik semata. Sekadar ritual luar belaka. Sekadar rukun dan status. Sedangkan hal-hal yang spiritual tertinggal di belakang, tak menembus wilayah hakikat dan ma’rifat. Makna dan fungsi ibadah tercecer di luar.
Sehinga tak ada taslim, penyerahan diri yang total. Tak ada takhrij, proses mengeluarkan diri dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Tak ada tanwir, yaitu pencerahan diri yang membuat hidup menjadi bersinar. Tak ada tahrir, Pembebasan diri dari segenap berhala kehidupan. Sehingga haji yang ditunaikan berulang-ulang kali pun tak pernah mabrur yang merupakan harapan semua hujjaj.***
Sumber : Humas Bandung