Di tengah-tengah pandemi virus corona dan bulan Ramadan, warga Muslim menghadapi berbagai hambatan dalam menjalankan puasa, namun mereka merasa ini juga merupakan sebuah peluang untuk menguji ketabahan dan keyakinan mereka.
SEATTLE, WASHINGTON — Penduduk Seattle, negara bagian Washington, Maggie Mohamad tadinya bermaksud menjalani bulan puasa di tempat asalnya di Mesir. Namun kini akibat perebakan virus corona, tidak ada penerbangan untuk pergi ke Mesir. Juga rencana mengundang kerabat dan keluarga berbuka puasa bersama lewat acara potluck iftar luluh. Maggie Mohamad berusia 65 tahun dan dia tidak mau menanggung risiko berkumpul seperti itu.
“Ini sangat menyedihkan, tadinya kami sudah bersemangat,” katanya. Tetapi, “Ini bukan hukuman, melainkan lebih sebagai sebuah seruan agar kita menyadari keberuntungan kita.”
Ramadan menyatukan warga Muslim di seluruh dunia lewat berpuasa dan salat (tarawih) berjamaah. Tahun ini, Ramadan berlangsung menyusul serangkaian tradisi agama-agama lain yang juga harus bergelut dengan isu, bagaimana menyelenggarakan upacara dan peringatan masing-masing pada masa penuh ketidakpastian ini.
Mohammad mencari jalan keluarnya, taraweh pada bulan suci ini biasanya berlangsung di masjid. Kini dia salat bersama putrinya di rumah saja. Ia selalu terkesan dengan doa sang imam, ketika dia mendoakan orang-orang tercinta yang sudah pergi atau mereka yang menderita di tempat-tempat yang jauh dengan suaranya yang khas, acapkali umat menjadi terharu dan kemudian diiringi oleh ucapan “Amin” yang diucapkan secara bersama.
Terpikir oleh Maggie Mohamad, bisakah acara doa ini kita selenggarakan lewat telekonferensi video Zoom barangkali?
“Hal itu akan sangat membantu kami,” katanya, meskipun dia sadar itu tidak sama dengan sembahyang bersama di masjid. Biasanya di sana, umat perempuan selalu saling merangkul dan ngobrol sementara anak-anak bermain ditengah-tengah pembagian buah kurma dan coklat.
Selama bulan Ramadan, umat berpuasa mulai matahari terbit sampai terbenam, sementara mereka berusaha memurnikan diri dan memperlihatkan empati kepada sesama lainnya. Inilah waktu untuk sembahyang, introspeksi diri, dan amal. Biasanya ini juga waktu untuk berkumpul bersama keluarga, kerabat, dan makan-makan selepas puasa.
Tahun ini, perebakan telah menghambat berbagai tradisi yang membahagiakan itu. Penutupan masjid dan anjuran agar umat beribadah di rumah saja telah menimbulkan banyak perasaan emosional.
Imam Omar Suleiman dari Texas mengatakan, masjid yang kosong telah mendorongnya untuk merenungkan dilema ini.
“Bagaimana kita sebagai umat bisa mengembangkan diri sehingga kita lebih dekat lagi kepada Allah?” demikian tanya Suleiman, yang sudah melakukan streaming khutbah dan perenungan setiap malam kepada lebih dari 1,4 juta pengikutnya di Facebook.
“Kini kesempatan terbuka untuk mengembangkan empati kita bagi mereka yang selama ini tidak memiliki akses ke ruang keagamaan mereka akibat situasi penindasan yang mereka hadapi,” imbuhnya.
Dia semakin mensyukuri keberadaannya di Amerika, meskipun situasinya tidak sempurna, namun masih bisa mengecap kebebasan untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. [jm/ii]
Sumber : VOA Indonesia