Dalam buku Super Mama Happy Mama yang saya tulis, ada salah satu bab yang berjudul Upaya Cerdas dalam Kondisi Terbatas.
Teringat dengan masa “social distancing” atas dampak wabah corona, kita benar-benar harus taat dan mendengar terhadap imbauan para pemangku kebijakan. Kita harus berdiam di rumah. Kita harus menjadi ibu dan bapa guru di rumah sendiri. Kita harus membersamai anak-anak menyelesaikan tugas. Kita tak bisa ke pasar. Kita tak bisa jalan-jalan.
Tentunya, perasaan “kecamuk” itu bukan saja milik KITA. Melainkan “gereget” dengan kondisi yang kini mengemuka, juga adalah miliki anak-anak kita.
Tetapi justru inilah HIKMAH indah. Inilah tadzkirah. Karena sejatinya seorang anak, memang perlu belajar untuk mampu MENERIMA dalam kondisi yang TAK BIASA.
Maka wajar, bila kemudian butuh porsi kesabaran yang beda, wajar jika butuh ikhlas yang ekstra.
Bismillah. Situasi dan kondisi ini menjadi ladang belajar untuk kita dan buah hati. Ini satu fragmen dalam LATIHAN KETANGGUHAN yang sesungguhnya. Karena anak yang super tentu terlahir dan dibesarkan oleh orang tua yang super.
Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Yuk, mari. Kita lebih realistis melihat peluang. Kita lebih optimistis untuk tetap berada dalam kebaikan.
Meski dalam kondisi kita tengah WASPADA, namun kita tak perlu terjebak dengan kepanikan. Karena tugas kita adalah TERUS BERGERAK. Tugas kita adalah tidak “lebay” dengan segala hal yang kini tak biasa, melainkan bagaimana kita menciptakan upaya-upaya agar anak-anak tetap bersikap wajar.
Dan tak berarti kita harus berhenti untuk menambah wawasan. Tak berarti kita boleh “stuck” untuk belajar.
Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Hari ini. Zaman ini. Keserbamudahan terjadi. Anak begitu lahir langsung DIMANJAKAN dengan teknologi.
Tetapi, hari ini, zaman ini, kita ikut terjebak untuk memberi RUANG NEGOSIASI yang lebar pada mereka. Sayang benaaaaaar rasanya. Karena terlalu lebarnya ruang negosiasi, terlalu luasnya ruang penolakan, terlalu bebasnya anak berkehendak, menjadi satu isyarat LUMPUHNYA kedewasaan.
Mengapa?
Karena mereka yang hari ini meraih segala kemudahan, itu sesungguhnya dilewati dengan kesusahan.
Yuk, mari. Ajak anak kita untuk sekadar membantu pekerjaan rumah. Ajari anak kita untuk sekadar sabar dalam antrean. Ajari anak kita untuk mampu berkompromi pada kondisi terbatas.
Ayah Bunda yang dirahmati Allah.
Kita butuh pilihan. Kita butuh prioritas. Berada di manakah anak kita. Mau didesain dengan tipologi manakah mereka?
Tidak ada yang berhak menghalangi setiap pilihan. Namun pilihan terbijak tentunya yang maslahat untuk banyak pihak.
Menjadi seorang yang ADAPTIF. Iniilah yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw tentang kesabaran, tentang ketangguhan, tentang keberterimaan. Inilah yang Allah ajarkan dalam Al-Qur’an tentang kesabaran dan keikhlasan.
Menjadi seorang adaptif. Seorang anak yang mampu berempati terhadap kondisi orangtuanya.
Ayah Bunda yang dirahmati Allah
Salah satu hasil pasokan tipologi kepribadian yang adaptif adalah memiliki kemandirian. Mandiri menanggulangi hal ihwal kerumahtanggaan saat pasangan tiba-tiba pergi untuk beberapa hari. Mandiri menghadapi anak dengan segala dinamikanya (merajuk, memaksa, menolak, dan lain-lain).
Dan menjadi seorang yang mandiri, biasanya didukung dengan perjalanan sabar, perjalanan pantang menyerah, perjalanan ikhtiar.
Lalu bagaimana kita menguatkan mental sebagai seorang istri yang merupakan “ibu bekerja”. Saat harus menghadapi dilema antara pekerjaan profesional maupun kerumahtanggaan yang berbarengan, saat pasangan pun sedang menempuh tugas-tugas pekerjaan.
Memang tak mudah, membagi tugas antara publik dan domestik. Tetapi kita bisa menghadapinya dengan manajemen prioritas. Misalnya, ketika pekerjaan di kantor sedang padat merayap dan kita cukup dikejar waktu untuk tiba di tempat kerja, maka siasati dengan menyederhana pekerjaan rumah seperti urusan memasak dan sebegainya. Kita bisa menyederhanakannya dengan agenda memasak yang ringan-ringan.
Kedua, dengan cara melibatkan anggota keluarga yang ada. Terutama anak-anak, jika memang sudah memungkinkan untuk dilibatkan membantu. Sekadar mengangkat jemuran, sekadar menyapu, sekadar mengunci gerbang, itu insyaAllah sangat meringankan pekerjaan yang harus kita tempuh.
Namun di luar itu semua, ada hal yang harus kita pelajari seninya, yaitu manajemen rasa. Artinya apa? Di tengah riuh dan sibuknya aktivitas, kita latihan untuk tetap wajar menyikapi. Karena banyak terjadi, di mana beban kesibukan masih terbilang wajar, sedangkan dihadapi dengan “kekurangwajaran” (seperti mudah mengeluh, spontan menyalahkan, berkomentar negatif tanpa takaran, mengungkapkan kekesalan dengan verbal, dll). Ketidak wajaran sikap inilah yang kemudian menjadi pemasok terhadap kesan “repot”.
Lalu bagaimana pula mengajak anak supaya bisa mampu adaptif sedangkan mereka berada pada usia di mana harus diperlakukan bak raja (0-7 tahun). Seperti apakah batasannya? Dari usia berapakah tepatnya?
Memang benar sekali bahwa anak pada usia 0-7 tahun itu untuk kita perlakukan seperti raja.
Namun tentu saja, hati-hati bagi kita untuk terlena dengan kata atau istilah “raja” tersebut. Yang disebut dengan “raja” pada konteks demikiana adalah bagaimana anak usia dini dicukupkan kasih sayangnya, dicukupkan asupan gizinya, dicukupkan pengalaman baiknya, didengarkan dan diapresiasi setiap kebaikannya, dan dilindungi sedemikian rupa sehingga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan (tidak celaka, tidak hilang, dll).
Namun dengan perlakuan demikian, tidak berarti anak boleh dimanjkakan dan diikuti semua keinginannya. Karena jika konteksnya begini, bukan proses pendewasaan.
Termasuk ketika mereka meminta yang sifatnya memaksa dan tidak wajar. Tetap saja, hal ini butuh pemahaman khusus. Minimal diingatkan sesuai dengan bahasa (usianya).
Jadi, sebagai orangtua yang bijak adalah, kita perlakukan mereka seperti raja sebagaimana indikatirnya telah disebutkan, namun mereka tetap diberi fondasi kemandirian sesuai dengan usianya. Bagaiaman mereka dilatih berterimakasih, dilatih menyimpan benda yang mampu mereka bawa dan tidak membahayakan, dilatih/dikondisikan untuk berangkat ke masjid, dan lain-lain.
Karena, salah satu hakikat pendidikan itu adalah tak berdiri sendiri dan tidak tiba-tiba. Artinya, untuk mereka sampai pada kondisi dikenai kewajiban, mereka tetap butuh kesiapan dari awal. Minimal dalam bentuk pengkondisian.
Demikian yang bisa saya bagikan.
Semoga bermanfaat dan salam pengasuhan.