Berpuasa, boleh dikata, adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Seperti diperintahkan Rasulullah SAW, “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa’ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Sementara Allah SWT memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: “Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri?”(QS-6:10). “Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak.”(QS-72:3).
Al-Quran juga memerintahkan Rasulullah SAW untuk menyampaikan, “Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan…?” (QS-6:14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat (asmaulhusna) yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk.
Misalnya, Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka la’allakum tattaqun (mencapai taqwa) dapat pula dicapai.
Sumber : Humas Bandung