Tahukah Sobat Harmoni, bahwa terlalu manjakan anak, bentuk kasih sayang yang bisa merusak karakter
Setiap orang tua pasti menyayangi dan ingin membahagiakan anak-anaknya, tidak peduli bagaimana pun caranya. Ketika melihat anak-anak tertawa riang atas sesuatu yang dilakukan atau diberikan oleh orang tua, pasti ada kepuasan dan ketenteraman tersendiri yang dirasakan oleh para orang tua. Sayangnya, banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa rasa sayang yang berlebihan kepada anak justru hanya akan memberikan efek yang kurang baik terhadap perkembangan anak, terutama secara psikologis. Tak sedikit orang tua yang memberikan fasilitas kepada anaknya, meski sebenarnya sang anak belum membutuhkannya. Contohnya seperti smartphone, iPad, sepeda motor, bahkan mobil yang diberikan orang tua di saat anak-anak masih belum cukup umur untuk menerima fasilitas tersebut.
Di balik senyum dan tawa riang sang anak, orang tua tidak menyadari bahwa kasih sayang mereka yang seharusnya diwujudkan dengan pelukan dan waktu untuk bermain bersama justru tergantikan dengan smartphone, televisi, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan tidak adanya ikatan batin yang kuat antara anak dengan orang tuanya. Jika sikap memanjakan anak ini terus berlangsung hingga anak dewasa, maka anak sendirilah yang akan menanggung akibatnya. Berikut ini akibat yang dapat terjadi jika anak terlalu dimanja sejak kecil.
1. Makin banyak keinginan
Mengabulkan semua keinginan anak akan membuat orang tua kesulitan untuk berkata tidak di kemudian hari. Anak pun semakin hari akan semakin mudah mendeteksi kelemahan orang tua dalam mengabulkan permintaan mereka. Hal ini membuat mereka memanfaatkannya untuk mendapatkan lebih banyak lagi hal-hal yang diinginkannya. Rengekan anak pun terkadang membuat orang tua tidak tahan untuk menolak permintaan sang buah hati. Padahal belum tentu sesuatu yang ia minta memang ia butuhkan saat itu juga. Kebanyakan orang tua pun mengabulkan keinginan anak hanya karena ingin anak diam dan berhenti merengek, padahal seharusnya orang tua memberi pengertian bahwa keinginan anak belum tepat untuk dikabulkan saat itu. Dengan begitu, anak akan bisa belajar bersabar dan tidak keras kepala di kemudian hari.
2. Menjadi pribadi yang egois
Rasa bersalah orang tua karena tidak bisa menyediakan waktu bersama anak karena kesibukannya sering kali ditebus dengan memberikan hadiah-hadiah menarik yang sebenarnya tidak dibutuhkan anak. Selain itu, kemarahan dan kenakalan anak juga dianggap sebagai hal wajar sehingga tidak perlu adanya nasihat untuk memperbaiki sikap dan kedisiplinan. Lagi-lagi tanpa disadari, orang tua justru membentuk anaknya menjadi pribadi yang egois, karena selalu ‘dimenangkan’ saat melakukan kesalahan. Mereka terbiasa hidup mudah dan nyaman dan akan tumbuh menjadi ‘aku’ yang selalu dituruti sehingga menjadi egois di mana mereka selalu ingin didengarkan dan dituruti, cenderung sulit berbagi dengan orang lain, bahkan dapat menjadi ‘tukang pamer’ di depan teman-temannya.
3. Tidak bisa mandiri
Jika segala keinginan anak dipenuhi bahkan orang tua tidak tega membiarkan anak melakukan aktivitas kecil dalam rumah seperti merapikan tempat tidur, mengambil makanan sendiri, mencuci baju dan menatanya, serta lain sebagainya, hal ini hanya akan membuat anak tidak bisa mandiri dan senang berbuat seenaknya. Meski kelak orang tuanya meninggalkan harta warisan yang berlimpah sekalipun, tapi jika anak tidak dibiasakan untuk hidup mandiri, harta tersebut tidak bisa menjadi bekal bagi anak untuk tetap bisa bertahan hidup dalam lingkungan sosialnya. Ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain ini juga mendorong anak untuk menikah di usia muda saat ia mulai beranjak dewasa. Mengapa? Karena anak akan mencari sosok yang bisa memenuhi semua kebutuhannya termasuk finansial tanpa mengharuskan mereka bekerja. Namun, pernikahan yang tak dilandasi dengan kesiapan psikologis sering kali bukannya menjadi solusi melainkan justru menimbulkan masalah baru.
4. Kurang inisiatif dan kreatif
Pola pikir anak yang memang dari kecil sudah belajar bekerja membantu orang tuanya lebih cenderung bersifat dinamis dibandingkan anak yang manja. Biasanya, anak yang sering dimanja memiliki pola pikir kurang inisiatif, kurang kreatif, dan kurang dinamis karena anak memiliki kecenderungan untuk menempuh jalan pintas demi mendapatkan apa yang dia harapkan. Misalnya saja saat hendak ujian, anak akan lebih memilih untuk menyontek pekerjaan temannya ketimbang harus bersusah payah belajar. Contoh lainnya saat anak diberi tugas oleh guru, mereka akan lebih memilih agar orang tuanya yang mengerjakan tugas tersebut. Orang tua terkadang lupa bahwa anak perlu diajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu butuh perjuangan dan kerja keras.
5. Kemampuan sosial yang buruk
Anak-anak manja biasanya menjadi orang yang tidak peka terhadap lingkungan dan orang lain. Mereka juga mudah marah dan mengalami kesulitan untuk bersyukur atas apa yang ia miliki sehingga mengucapkan terima kasih pada orang lain pun dianggap sesuatu yang tidak perlu. Jika anak memiliki karakter seperti ini, anak bisa terasingkan dalam hidupnya karena tidak ada seorangpun yang mau dekat dengannya. Ketika sulit dalam mendapatkan teman, anak pun cenderung menjadi sosok yang individualis (mementingkan diri sendiri).
Setelah mengetahui dampak negatif memanjakan anak, tentu Sobat Harmoni tidak ingin anak menjadi pribadi yang bermasalah seperti yang telah disebutkan di atas, kan? Memanjakan anak memang perlu untuk membangun hubungan yang lebih dekat antara anak dan orang tua, akan tetapi jangan sampai kasih sayang yang diberikan malah membuat anak tumbuh dengan karakter yang kurang baik sehingga bukannya membuat anak memiliki masa depan yang baik, tapi orang tua secara tidak langsung malah menjerumuskannya. Jadi, manjakan anak pada ‘porsinya’ saja ya!
(Dari berbagai sumber)